Marak Bullying Termasuk di Pesantren, Ini Kunci Pencegahan Jadi Korban Maupun Pelaku

Ada lebih banyak kasus bullying yang tidak terlaporkan dibandingkan kasus yang terlaporkan atau mencuat ke permukaan, seperti fenomena gunung es

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Sep 2022, 06:30 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2022, 06:30 WIB
[Bintang] Sembilan Tahun Ngebully Teman Sendiri, Akhirnya Pria Ini Masuk Penjara
Inilah akhir dari cerita seorang pria yang selama sembilan tahun selalu membully temannya, meskipun ia sudah tak berada di sekolah yang sama. (Ilustrasi: Bullying | Bully Awareness Resistance Education)

Liputan6.com, Purwokerto - Akhir-akhir ini kasus perundungan atau bullying marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kasus kekerasan ini bisa terjadi di mana saja, termasuk di sekolah, lingkungan bermain, bahkan bullying di pesantren.

Pertanyaannya adalah, kenapa bullying justru masih terjadi di zaman teknologi dan informasi yang semakin maju dan bahkan tampak makin marak?

Dosen Program Studi PG PAUD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Melati Ismi Hapsari mengatakan ada banyak faktor yang memperkuat semakin maraknya kasus bullying. Pertama bisa jadi ini adalah fenomena copycat. Satu atau dua kasus yang mencuat dan diberitakan berulang-ulang, tanpa disadari menginspirasi anak-anak untuk meniru dan melakukan upaya serupa.

"Meskipun perlu dicatat bahwa pasti ada motif psikologis di balik ini. Tidak mungkin pelaku melakukan copycat jika ia “baik-baik saja”, biasanya ada dorongan laten yang tersembunyi yang diakibatkan oleh adanya trauma kekerasan atau kemarahan di masa lalu, terutama di early life nya," katanya, Selasa (6/9/2022).

Dia menjelaskan, ada lebih banyak kasus perundungan yang tidak terlaporkan dibandingkan kasus yang terlaporkan atau mencuat ke permukaan, seperti fenomena gunung es.

Salah satu pemicunya, pada era digital segala macam informasi bisa dengan sangat mudah disebarluaskan dan diakses oleh anak-anak serta remaja. Mestinya orangtua dan guru lebih mawas diri untuk menjadi teman dan informan yang bijak.

"Membersamai anak dalam memahami diri, memahami situasi, membantu mereka untuk bisa membentengi diri, dan hidup berdampingan dengan gempuran arus informasi dan teknologi," kata PhD Candidate, College of Education, Psychology and Social Work Flinders University, Adelaide South Australia itu.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pencegahan Bullying

Dosen Program Studi PG PAUD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Melati Ismi Hapsari. (Dok. UMP/Liputan6.com)
Dosen Program Studi PG PAUD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Melati Ismi Hapsari. (Dok. UMP/Liputan6.com)

Menurutnya untuk mencegahnya ada dua definisi, yakni mencegah anak menjadi korban dan juga mencegah anak menjadi pelaku perundungan.

"Anak butuh didengarkan. Seringkali kita sebagai orang dewasa mengabaikan suara mereka. Pola pengasuhan baik di dalam rumah atau di luar rumah terutama di sekolah masih lebih banyak top down. Meskipun anak tetap membutuhkan otorisasi atau kewenangan orangtua atau guru, namun jangan sampai kita lupa bahwa anak memiliki ide, pendapat, persepsi, yang perlu untuk kita dengarkan dan kita hargai," jelasnya.

Kedua, lebih peka dan responsif. Bullying yang terjadi dan terlaporkan biasanya bukan sekali dua kali terjadi. Anak atau korban biasanya sudah mengalami perlakuan perundungan untuk kesekian kalinya. Namun biasnaya ia tidak mampu mengutarakan atau bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa yang ia alami adalah sebuah perundungan.

"Biasanya hal ini disebabkan anak tidak terbiasa bercerita atau berpendapat, sehingga bahkan untuk memahami isi pikirannya sendiri pun mereka mengalami kesulitan," jelasnya.

Ketiga, terapkan disiplin positif. Pelaku juga biasanya sudah beberapa kali melakukan perundungan kepada anak tersebut atau teman-temannya yang lain, yang karena lingkungan sekitar tidak menyadari, atau tidak ada kontrol dan konsekuensi yang adekuat, akhirnya ia terus melakukannya lagi.

"Terapkan aturan yang konkrit di rumah dan di sekolah, yang dapat dipahami dengan mudah oleh anak, disertai penerapan konsekuensi yang konsisten, yang didiskusikan dan disepakati dengan anak di awal," katanya.

Selanjutnya, ajarkan, latih dan biasakan keterampilan asertif. Anak perlu diajarkan dan terbiasa untuk asertif, bagaimana menyampaikan pendapatnya secara tepat dan kuat, aktif tidak pasif, namun tanpa harus menyakiti orang lain atau tanpa menggunakan cara-cara kekerasan.

"Misalnya menyampaikan secara percaya diri dan tegas tentang apa yang mereka suka atau tidak suka, tanpa harus mengikuti paksaan dari teman atau orang lain," jelasnya.

 

Mengapa Menjadi Pelaku Bullying

Bullying di KPI
Bullying di KPI

Kerja sama aktif orangtua, Guru dan Masyarakat dengan Stakeholder. Kementerian pendidikan dan kebudayaan, melalui dinas pendidikan terkait, dan juga kemenppa, Mengimplementasikan program-program ToT training of trainer untuk anak dan remaja di sekolah.

"Beberapa program yang dirintis oleh beberapa sekolah bekerjasama dengan dinas pendidikan dan psikolog sekolah yakni konseling teman sebaya, pelatihan asertifitas, kader remaja sehat dalam berbagai kegiatan edukasi, sosialisasi dan pelatihan pencegahan perundungan. Kegiatan kegiatan serupa perlu terus digalakan secara kontinyu, tidak berhenti, dan disosialisasikan serta difasilitasi ke banyak daerah," jelasnya.

Mengapa menjadi pelaku?

Menurut Melati, ada trauma masa lalu terkait dengan pengalaman kekerasan yang pernah diterima terutama di masa kecil atau early life nya. Unfinished busines terkait rasa marah atau kecewa yang terpendam. Ingin menunjukkan popularitas atau dominasinya di lingkungan sosialnya, sehingga ada kepuasan atau kelegaan setelah melakukan perilaku perundungan.

"Pada dasarnya pelaku adalah individu yang insecure dan dengan dominasi, kekerasan atau perundungan yang dilakukan maka ia bisa merasa lebih percaya diri, terutama ketika korban atau orang lain merasa ketakutan," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya