Liputan6.com, Jakarta - Bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Sehingga banyak kita liat orang-orang begitu antusias untuk beribadah dan menebar kebaikan kepada sesama.
Salah satunya adalah dengan berbagi takjil. Istilah takjil berasal dari bahasa Arab عجل dalam bentuk mashdar yang menjadi تعجيل yang berarti menyegerakan.
Advertisement
Baca Juga
Tak heran banyak kita temui di masjid ataupun mushala, jamaah sholat Maghrib mendapat takjil gratis, bahkan pengendara bermotor hingga pejalan kaki di torotoar jalan.
Dalam perkembangannya, takjil di Indonesia menjadi istilah hidangan untuk berbuka puasa. Takjil terdiri dari makanan dan minuman siap saji atau siap disantap.
Lalu apakah berbagi takjil itu termasuk dalam tradisi Islam ataupun sunnah Nabi? Berikut penjelasannya mengutip dari laman NU Online Jatim.
Saksikan Video Pilihan ini:
Tradisi Takjil Zaman Nabi
Secara faktual ternyata menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang berpuasa (takjil) tidak hanya ada di Indonesia, di seluruh manca negara pasti ada, terlebih di negara Islam.
Menyediakan atau memberi menu takjil kepada orang lain merupakan ajaran Islam yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dan ulama. Anjuran ini disandarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Zaid bin Khalid al-Juhani. Rasulullah bersabda.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَايْنْقُضُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئا
Artinya: Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun pun juga.
Di masa Nabi Muhammad SAW, tradisi menyegerakan berbuka (takjil) menjadi sebuah ajaran agama. Karena takjil menjadi imbauan kepada sahabat yang berpuasa. Sebagaimana disabdakan dalam hadisnya.
عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يزال الناس بخير ماعَجَّلُوا الفطر (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'd al-Sa'idi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang senantiasa akan selalu bersama dengan kebaikan, selama mereka masih menyegerakan buka puasa."
Advertisement
Berbagi Takjil Bernilai Pahala Besar
Adapun menu berbuka puasa yang lumrah dikonsumsi oleh Nabi SAW, sahabat, tabi'in dan ulama adalah yang manis-manis, seperti kurma dan sejenisnya. Jika tidak ada kurma, maka berbuka dengan air. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW.
انّ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطبات قَبْلَ أَنْ يُصَلِّي فَأِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَات فَعَلَى تمَرَات فَأِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَات مِنْ مَاء (رواه أحمد)
Artinya: Rasulullah SAW biasa berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah) maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian, beliau berbuka dengan seteguk air.
Al-Mubarakfuri dalam kitab مرعات المفاتيح menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi ketika berbuka puasa. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata setelah berpuasa seharian. Demikian pula dengan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menyediakan buka puasa (takjil) bagi orang yang berpuasa merupakan perbuatan yang mendapatkan pahala besar. Bahkan Nabi SAW menganjurkan pada sahabat sehingga ajaran Islam itu menjadi sebuah tradisi. Sementara yang perlu dikonsumsi terlebih dahulu saat membatalkan puasa adalah makanan dan minuman yang manis-manis.