Sombong Menurut Buya Yahya Bukan yang Pakai Baju Mahal dan Wangi, Tapi Begini

Buya Yahya: Sombong itu bukan orang pakai baju mewah, ini penjelasannya

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mei 2024, 10:30 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2024, 10:30 WIB
buya yahya
Buya Yahya (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak orang berpendapat tentang sombong yang diartikan sebagai perilaku bermewah-mewah, dan membagaknnya. Misalnya, menggunakan pakaian mewah, dan beraroma wangi, dan beberapa cap yang dianggap negatif lainnya.

Di banyak masyarakat, perilaku ini sering kali dipandang negatif karena dianggap mencerminkan sikap yang sombong, tidak merendahkan diri, dan kurangnya empati terhadap orang lain yang mungkin tidak mampu melakukan hal yang sama.

Pada sisi lain, ada juga kelompok yang memandang perilaku tersebut sebagai manifestasi dari kesuksesan dan prestise, yang secara sosial dianggap sebagai tanda status atau keberhasilan dalam kehidupan.

Bagi sebagian orang, berpakaian mewah dan beraroma wangi bisa menjadi cara untuk meningkatkan rasa percaya diri dan merasa baik tentang diri sendiri. Namun pada sebagian orang dianggap sombong.

Mengutip dari laman KBBI, kata sombong memiliki arti menghargai diri secara berlebihan, congkak, dan pongah.

Namun begitu, menurut ulama Buya Yahya, ternyata definisi sombong bukan seperti digambarkan di atas. Lantas, seperti apa sombong menurut Buya Yahya?

 

Simak Video Pilihan Ini:

Penjelasan tentang Sombong Menurut Buya Yahya

Buya Yahya. (Foto: Dok. Instagram @buyayahya_albahjah)
Buya Yahya. (Foto: Dok. Instagram @buyayahya_albahjah)

Mengutip tayangan channel Youtube @IisRomdiya, menurut Buya Yahya sombong itu bukan orang pakai baju mewah, pakai mobil mewah, rumah megah.

Menurut Buya, pernah ada orang bertanya pada Rasulullah SAW mengenai hal sombong dengan kategori rambut rapi, badan wangi, pakaian bagus rumah megah. Ternyata Rasulullah menjawab bahwa itu bukan kategori sombong

"Rasulullah menjawab, oh tidak Allah maha bagus senang kalau hambanya juga menjaga dari kebersihan rapi, umat muslim harus begitu rapi ya bersih itu bukan sombong. Kata nabi, sombong sombong itu tersimpulkan pada dua model makna," kata Buya.

Apa itu? Hamtun Nas batharul Haqi, menolak kebenaran kalau diingatkan berhujah, atau mengajak berdebat.Yang kedua adalah wamtunasi merendahkan, merendahkan orang lain.

"Batharul haqqi menolak kebenaran, ini biasanya kalau diingatkan berhujah mengatakan ya macam-macam merasa dia lebih Ustadz dari yang lainnya, kalau diingatkan bukan levelah, dia tahu apa? ujar Buya.

Selain itu ia juga mencontohkan, misalnya dalam keluarga.

"Istri diingatkan sama suami ngomong abang enggak pernah ngaji, atau sebaliknya suami diingatkan oleh istri imamnya gak level dengan saya, naudzubillah. Itu orang sombong," tandas Buya.

Sifat Sombong, Sifat Iblis

Film Perjamuan Iblis

Dalam Muslim.or.id disebutkan, Islam melarang dan mencela sikap sombong, Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ {18}

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

 

Dosa Pertama Iblis

Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ {34}

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi . Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet al Maktabah at Tauqifiyah)

Hakekat KesombonganDiriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)

Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap al haq dan sombong terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadist di atas dalam sabda beliau, “sombong adalah menolak kebenaran dan suka meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain. (Syarh Riyadus Shaalihin, II/301, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, cet Daar Ibnu Haitsam)

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya