Love-Hate Relationship dengan Plastik

"Plastik itu punya dua mata pisau. Jadi, tinggal bagaimana diperlakukan," kata Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Industri Plastik dan Karet Hilir Kementerian Perindustrian Rizky Aditya Wijaya.

oleh Asnida Riani diperbarui 19 Des 2019, 05:03 WIB
Diterbitkan 19 Des 2019, 05:03 WIB
Sejauh Mata Memandang
Pameran "Laut Kita Masa Depan Kita" oleh Sejauh Mata Memandang di Senayan City Jakarta, 28 November 2019--2 Februari 2020. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Jakarta - Dibutuhkan, tapi malah jadi sumber masalah. Dilema itulah yang melanda penggunan plastik. Pasal, secara industri, belum ada material yang mengungguli semua kelebihan bahan terbuat dari olahan minyak bumi tersebut.

"Plastik sebagai bahan baku industri belum tergantikan sampai sekarang. Karakternya solid dan sanggup mempertahankan kualitas produk yang dikemas," kata Public Affairs and Communications Director Coca Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo di bilangan Jakarta Pusat, Kamis, 5 Desember 2019.

Di sisi lain, produk plastik bekas mengancam keberlangsungan lingkungan. Menyambung rantai pemberdayaan bahan baku yang seharusnya sirkular dinilai jadi solusi paling efekif di tengah love-hate relationship dengan plastik.

"Plastik itu punya dua mata pisau. Jadi, tinggal bagaimana diperlakukan," kata Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Industri Plastik dan Karet Hilir Kementerian Perindustrian Rizky Aditya Wijaya.

Dengan kata lain, industri daur ulang harus mulai digerakkan dengan melibatkan banyak pihak, mulai dari pelaku industri, masyarakat, pelaku industri daur ulang itu sendiri, sampai pemerintah. "Karenanya penting mengubah pola pikir masyarakat bahwa plastik bukan sampah, melainkan bahan baku," sambung Triyono.

Rizky menambahkan, putusnya sirkular ini salah satunya disebabkan bagaimana publik membuang sampah dan memperlakukan plastik. "Kita belum punya sistem pengolahan sampah yang efisien, Plastik selesai konsumsi biasanya akan bercampur dengan kotoran sedangkan industri maunya bersih supaya bisa langsung masuk mesin," tuturnya.

Terlebih, belum terbangunnya kebiasaan memilah sampah membuat plastik bekas konsumsi dalam berbagai bentuk biasanya tercampur dengan sampah lain. "Akhirnya jadi sampah tak termanfaatkan," kata Rizky.

Di samping, pengolahan manajemen juga diperlukan. Pasal, truk sampah yang sekarang hanya ada satu jenis. "Percuma juga kan warga sudah memilah, tapi malah disatukan lagi ke truk sampah yang sama," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Potensi Industri Daur Ulang

PRO
Acara diskusi media tentang Peluang dan Tantangan Penerapan Packaging Recovery Organization (PRO) di tahun 2020 di WeWork Menara Astra, Jakarta, 5 Desember 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Perputaran industri daur ulang yang sehat nyatanya sangat mungkin berujung pada profit. Rizky menjelaskan, potensi pasar ekspor daur ulang plastik sangat besar setelah Tiongkok menutup industri daur ulang mereka dengan kapasitas 9 juta ton per tahun.

Kemudian, di Indonesia sendiri terdapat potensi subsitusi impor, baik dalam bentuk bahan baku maupun produk daur ulang. Terakhir, meningkatkan daya saing produk hilir, di mana bahan baku daur ulang lebih murah 30 persen ketimbang virgin.

"Populasi (industri daur ulang) sendiri ada 600 industri besar dan 700 industri kecil dengan investasi senilai Rp7 triliun-an," kata Rizky. Bila perputaran ini bisa terealiasai, gerakannya tak semata jadi solusi polusi plastik, tapi juga punya nilai ekonomi tinggi.

"Soal industri daur ulang ini memang perlu ketekunan. Jepang saja untuk biasa memilah sampah butuh 15--20 tahun. Sekaranglah waktu kita memulai," imbuh Triyono.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya