Liputan6.com, Jakarta - Sabtu sore di Sarcelles, sebelah utara pinggiran kota Paris, Mama Diakite datang ke sebuah pertandingan sepak bola. Tim amatir yang diperkuatnya sedang bertanding menghadapi klub lokal. Wanita berhijab ini khawatir tidak diperbolehkan untuk bermain karena hijabnya.
Namun kali ini wasit membolehkan dirinya untuk bermain. "Kali ini berhasil," ucapnya usai pertandingan sambil tersenyum menatap lapangan, dilansir dari New York Times, Senin, 18 April 2022.
Wanita yang memakai penutup kepala Nike berwarna hitam ini senang bisa bermain di tengah larangan pemakaian hijab maupun benda apa saja yang berkaitan dengan agama tertentu di pertandingan olahraga, termasuk sepak bola. Hal itu jadi pukulan sekaligus tantangan tersendiri bagi Diakite.
Advertisement
Baca Juga
Wanita berusia 23 tahun ini sangat suka bermain sepak bola. Sepuluh tahun sudah dia bermain di klub sepak bola bersama teman sekota. Namun, ada kemungkinan dia mesti merelakan itu. Larangan hijab dalam olahraga kini dalam proses masuk undang-undang negaranya.
"Itu bisa menjadi akhir sepak bola bagi saya," ucap Diakité belum lama ini. Diakite adalah anggota Les Hijabeuses. Kelompok yang berbasis di Paris ini terdiri dari wanita-wanita muda berhijab yang bermain sepak bola. Mereka sedang berjuang memprotes larangan tersebut. Bagi mereka itu seperti mengucilkan wanita Muslim dari dunia olah raga.
"Seharusnya talenta yang jadi tolak ukur, bukan apa yang Anda kenakan, warna kulit, atau agama. Kami di lapangan untuk bermain sepak bola. Jadi talenta kami yang harusnya dilihat, bukan yang lainnya," kata Diakite. Senat Prancis mengambil pemungutan suara untuk melarang hijab dan "simbol-simbol agama" lain dalam olahraga pada Januari 2022.
Partai sayap kanan Les Republicains mengajukan ini dengan dalih hijab bisa membahayakan keamanan atlet. Sebanyak 160 anggota senat menyetujui, 143 menolak. Ini berarti bahasan bakal masuk ke tahap selanjutnya menuju pengesahan masuk undang-undang.
Muslimah Prancis sudah dilarang menggunakan hijab di beberapa tempat. Busana tertutup seperti burka dan nikab dilarang dikenakan di tempat publik, mulai dari jalan-jalan umum, transportasi publik, tempat berbelanja, rumah sakit, dan bioskop. Prancis memberlakukan larangan sejak April 2021. Mereka mengesahkan hukum yang melarang wajah ditutup di ruang publik.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dianggap Gerakan Politik
Larangan mengenakan hijab ini mendapat kritik dari banyak pihak. Ada banyak alasan yang diajukan tidak mudah dicerna. Banyak atlet Muslim mengenakan hijab berkompetisi dalam Olimpiade.
Saat ini, sudah banyak busana Muslim yang didesain khusus agar atlet wanita aman ketika bertanding dengan kepala tertutup. Fatima Bent, ketua organisasi feminis dan antirasisme Lallab di Prancis, menilai argumen larangan hijab untuk membantu wanita Muslim tidak masuk akal dan tidak ada kaitannya dengan kondisi olahraga.
"Bahasan ini datang dari pendekatan kolonialisme Eropa dimana wanita Muslim selalu dianggap sebagai wanita yang harus diselamatkan; dari keluarga mereka, dari asal usul mereka, yang membuat mereka harus menghilangkan identitas mereka supaya bisa membaur," ujar Fatima.
"Ini adalah perpanjangan tangan dari kisah kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi, menegaskan wanita Muslim tunduk dan mereka dilihat sebagai inferior." Salah satu pendiri Les Hijabeuses, Founde Diawara mengatakan jilbab seakan terus diidentikan sebagai gerakan politik di Prancis. Ia merasakan betul bagaimana hidupnya sejak kecil tidak nyaman.
Saat SMA, ia mengalami banyak ujian harus selalu melepas hijab sebelum berangkat karena sekolah melarang. Saat usia 15 tahun, ia pun pernah dikucilkan dari lapangan hijau karena berbusana menurut keyakinannya sebagai Muslim. "Olahraga seharusnya terbuka bagi semua orang dan seharusnya memegang prinsip kesatuan dalam keberagaman," kata Diawara.
Advertisement
Pro Kontra Sejak Lama
Ia mengatakan, tanpa larangan hijab pun, wanita dan Muslimah di Prancis sudah mengalami banyak kendala. Situasi tidak ramah, membuat sebagian besar dari mereka ragu mewujudkan mimpi menjadi atlet sepak bola.
"Mereka harus berhenti berpikir penutup kepala sebagai bendera politis. Ketika kami bermain bola selama 90 menit, kami hanya memikirkan bola dan menendangnya. Kami di sana bukan ingin membuat gerakan atau memaksakan keyakinan kami," terangnya.
Larangan berhijab dalam sepak bola menjadi pro kontra sejak lama. Federasi Sepak Bola Dunia FIFA sempat menjatuhkan larangan penggunaan jilbab bagi pesepakbola Muslimah pada 2007 silam. Namun, keputusan itu akhirnya dianulir dan dicabut pada 2012.
Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke menegaskan jilbab dalam sepak bola tidak menyimbolkan agama tertentu, melainkan simbol budaya. Ia juga menepis argumen terkait keamanan atlet.
"Keamanan dan isu medis telah dihapus dari pertimbangan pelarangan penggunaan jilbab. Kami telah sepakat bahwa para pemain diperbolehkan mengenakan jilbab," tutur Valcke saat itu.
Pilpres Prancis
Jilbab adalah masalah abadi di Prancis. Isu itu kini menjadi pusat perhatian dalam kampanye pemilihan presiden negara itu pada Jumat di tengah desakan kandidat sayap kanan Marine Le Pen untuk melarang penggunaan jilbab di negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa barat itu.
Pemilihan presiden atau pilpres Prancis memasuki putaran kedua. Presiden yang masih berkuasa, Emmanuel Macron akan berhadapan dengan anggota sayap kanan Marine Le Pen. Diperkirakan, perebutan kursi orang nomor satu di Prancis ini berlangsung sangat ketat dan presiden akan ditetapkan pada 24 April 2022, seperti dikutip dari laman Hindustan Times.
Persaingan di antara keduanya pun semakin memanas. Macron menuduh Le Pen mendorong manifesto ekstremis dari kebijakan rasis dan merusak segala aturan, termasuk janji melarang penggunaan hijab bagi kaum muslim. Mereka berdua juga dihadang oleh perempuan berjilbab yang menanyakan mengapa pilihan busana mereka harus terjebak dalam politik.
Macron tidak akan melarang pakaian keagamaan, tetapi dia telah mengawasi penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam, dengan bantuan dari tim khusus untuk membasmi dugaan tempat berkembang biaknya radikalisme.
Pemerintah Macron juga meloloskan undang-undang kontroversial tahun lalu untuk memerangi “separatisme,” kata yang digunakan untuk menggambarkan pencampuran politik dengan Islam, yang dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis yang berharga. Saat ini, beberapa Muslim merasa kampanye presiden sekali lagi menstigmatisasi kepercayaan mereka.
Advertisement