Liputan6.com, Labuan Bajo - Mendorong wisata inklusif melalui sertifikasi halal di sederet destinasi di dalam negeri. Semangat itu digerakkan, menurut Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Usaha Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Masruroh, sambil mewanti-wanti jangan sampai pariwisata halal dianggap sebagai momok menakutkan.
"Kalau ribut dengan label, kita malah tidak bisa mendapat esensi pariwisata halal," katanya saat menghadiri acara puncak Festival Syawal 1445 H LPPOM MUI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 8 Mei 2024. "Sementara itu, negara-negara lain sudah eager mengembangkan pariwisata ramah Muslim. Jangan sampai wisatawan kita nantinya hanya jadi pasar."
Baca Juga
Ia menegaskan, mendorong pengajuan sertifikat halal di destinasi wisata bukan berarti "meng-Islam-kan" daerah tersebut. "Salah kaprah bila pariwisata ramah Muslim jadi membuat suatu destinasi mengubah branding-nya. Yang harus dipahami, turis Muslim punya kebutuhan unik selama berwisata. Mereka perlu tempat salat dan tempat makan halal," Masururoh mengatakan.
Advertisement
Pariwisata ramah Muslim, ia melanjutkan, juga jadi bagian diversifikasi pasar. "Ada beberapa pasar utama (wisatawan mancanegara) yang sedang kita tapping. Pasar utama (turis asing) kita itu Malaysia, Singapura, India, dan China, yang mana negara-negara itu punya penduduk Muslim," bebernya.
Musruroh menggarisbawahi bahwa destinasi ramah Muslim semata memberi layanan tambahan yang dibutuhkan kelompok pelancong tersebut. "Terlepas dari itu, setiap destinasi harus menonjolkan keunikan masing-masing (untuk memikat wisatawan)," ujar dia.
Pedoman wisata halal juga menyasar lima Destinasi Super Prioritas (DSP): Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, Danau Toba dan Likupang. "Kami punya daftar restoran dan hotel halal yang bisa diakses di situs web Indonesia.Travel," sebut Masruroh.
Â
Fasilitasi Sertifikasi Halal di Destinasi Wisata
Di kesempatan yang sama, Direktur Kemitraan dan Pelayanan Audit Halal LPPOM Muslich bercerita seputar tantangan memfasilitasi sertifikasi halal di destinasi wisata, terutama di daerah dominan non-Muslim. "(Bisnis) besar itu punya resources (untuk mengajukan sertifikasi halal). Yang susah itu UMKM," sebut dia.
"Namun, selama pemilik (bisnis UMKM) berkomitmen, pasti dapat (sertifikat halal). Yang punya (bisnis) pun tidak harus Muslim, karena sertifikasi (halal) itu universal," ia menambahkan.
Tantangan lain yang biasa dihadapi pebisnis, menurut Muslich, adalah mencari bahan alternatif yang terjamin halal. "Apalagi bila usahanya memang sejak awal tidak di-set (untuk punya sertifikat halal)," ucapnya.
Kendati demikian, ia meminta para pengusaha tidak perlu gusar, karena LPPOM MUI punya database yang mumpuni untuk membantu mencarikan bahan-bahan alternatif yang bersertifikat halal. "Biasanya mereka akan khawatir soal rasa yang tidak mirip, padahal banyak bahan pengganti yang akan memberi rasa yang sama," ia menyebut.
Ia pun menggarisbawahi bahwa kunci PDKT dengan pebisnis UMKM adalah pihaknya harus lebih proaktif. "Harus ambil inisiatif untuk membantu mereka," imbuhnya.
Advertisement
Akselerasi Sertifikasi Halal
Sejalan dengan itu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Kemenparekraf tengah bekerja sama menjalankan program akselerasi sertifikasi halal produk makanan dan minuman di tiga ribu desa wisata dalam rangka mewujudkan Wajib Halal Oktober (WHO) 2024. "Sudah tinggal sekitar seribu desa lagi (untuk mencapai target tiga ribu desa wisata)," sebut Masruroh.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Hj. Siti Aminah menegaskan bahwa sertifikasi halal bukan berarti mengubah komunitas lokal. "Adat istiadat setempat tidak akan berubah dengan adanya sertifikasi halal," menurut dia. "(Program itu ada) supaya wisata bisa dinikmati semua orang, termasuk pelancong Muslim."
Ia menyambung, "Indonesia menerapkan #WHO2024 sebagai landasan hukum untuk wajib sertifikat halal. (Jaminan) halal penting, dan untuk tahap pertama pada 17 Oktober 2024, semua produk makanan, minuman, dan jasa sembelihan wajib bersertifikat halal."
"Kami berharap, para direktur LPPOM di provinsi menyosialisasikan di daerah masing-masing, karena sertifikasi halal ini baik untuk terus melestarikan wisata yang ada," ujar dia.
Masruroh melanjutkan, sertifikasi halal tidak bersifat memaksa. "Yang penting jelas saja, mereka harus deklarasi non-Halal supaya tidak rancu untuk wisatawan Muslim," katanya.
Kawasan Kuliner Ramah Muslim
Dalam perwujudannya, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) ikut meresmikan kawasan kuliner ramah Muslim di Kampung Ujung, Labuan bajo. Plt Direktur Eksekutif KNEKS Taufik Hidayat berkata, "Hari ini (8 Mei 2024) merupakan sejarah baru bagi perkembangan industri halal di Indonesia."
"Untuk pertama kalinya diresmikan kawasan kuliner bersertifikasi Halal dan Aman Sehat di Nusa Tenggara, khususnya Nusa Tenggara Timur," imbuhnya. "Saya menyampaikan apresiasi pada LPPOM yang telah menginisiasi dan memfasilitasi sertifikasi halal di daerah ini."
Berdasarkan SGIE Report, produk makanan halal Indonesia dilaporkan menempati peringkat dua dunia. Hal itu selaras dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia.
Zona Kuliner, Halal, Aman, dan Sehat (KHAS) dinilai mampu mendukung cita-cita Indonesia jadi produsen produk halal terkemuka. "Zona KHAS adalah bukti bila kita semua bersinergi, hal-hal konkret yang bermanfaat bagi masyarakat luas dapat dicapai bersama," tandasnya.
Advertisement