Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah aktivis kebebasan beragama yang tergabung dalam Seta‎ra Institute menemui Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Syaifuddin di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Kedatangan mereka untuk mendesak agar kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dihapus.
Menanggapi usulan tersebut, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Mubarok menilai hal itu harus melalui berbagi kajian yang mendalam. Menurut dia, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenag harus berdasarkan aturan dan perundang-undangan yang ada.
Baca Juga
Ia mengatakan, untuk mempertimbangkan hal tersebut, pihaknya tentu harus melihat undang-undang dan aturan yang berlaku. Menurut dia, untuk saat ini saja berdasarkan konstitusi, tidak ada definisi mengenai apa yang dimaksud dengan agama.
Advertisement
Karena itu, bila pemerintah diminta untuk mengosongkan kolom agama dalam KTP, atau membolehkan seluruh agama dan keyakinan di Indonesia dalam KTP, membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan penelusuran mengenai ajaran dan keyakinan agama di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak.
"Tidak bisa begitu saja mengubah undang-undang,‎ kita nggak punya definisi agama, itu yang kita tidak punya orang bilang agama, kita punya indikator yang jelas, itu kajian kami," ujar Mubarok di Kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin, (10/11/2014).
Menurut dia, karena tidak adanya definisi agama, pihaknya tidak bisa begitu saja mengakomodir seluruh keyakinan masyarakat dan diakui sebagai agama.
"Kalau tak ada definisi kan semua orang tidak bisa sembarangan, agamanya X, agamanya S, itu kan merepotkan pemerintah sendiri, sementara dalam pemerintah kan semua harus formal, tegas, dan jelas. Kalau nanti ada orang yang mengatakan agama saya X, kemudian setelah itu bisa jadi perdebatan, ini kan kepastian hukumnya tidak jelas," kata dia.
Ia pun mengaku saat ini pemerintah masih berpedoman bahwa agama yang diakui pemerintah ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu.
"Kita hanya punya Undang-Undang Nomor 1 PNPS (UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama) yang mengatakan bahwa, pelayanan agama yang dilayani itu ada enam. Kalau yang lain silahkan hidup. Dibiarkan adanya. Silakan mereka beragama apa saja, tapi pemerintah tidak memberikan (pelayanan dari negara) itu yang ada di undang-undang," kata Mubarok.
Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin sebelumnya mengatakan, pengosongan kolom agama di KTP bukan menandakan orang tersebut ateis. Sebab, sila pertama dalam Pancasila memastikan Indonesia sebagai negara beragama.
"Kita kan negara Pancasila, karenanya apakah ateis itu dimungkinkan hidup di Indonesia? Menurut saya itu bertolak belakang dengan kita ya sebagai negara yang memiliki agama‎," ujar Lukman Hakim Saifuddin. ‎(Ans)