Liputan6.com, Jakarta - Wacana pemerintah membiayai partai politik sebanyak Rp 1 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) jelas menimbulkan polemik. Menanggapi itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan hal tersebut masih sebatas rencana.
"Ini kan berawal dari masalah pembiayaan, pendanaan, kampanye yang anggarannya jor-joran. Saya yang pernah jadi Sekjen Partai itu, sebagai partai pemenang pemilu, terima pembiayaan cuma Rp 2 miliar. Padahal itu menghidupi seluruh Indonesia yang begitu besar. Nah, ditingkatkan seharusnya," ujar Tjahjo di Bidakara, Jakarta, Senin (10/3/2015).
Menurut dia, ada beberapa negara telah mengadopsi hal tersebut. Seperti Australia dan Jerman. Meski demikian, pertanggungjawabannya harus dimatangkan.
"Hasil sampel kita, Australia itu dibiayai negara, Jerman juga, tapi harus pertanggungjawaban dengan betul. penggunaan untuk apa. Kalau ada oknum partainya yang korupsi ya bisa nggak boleh ikut pemilu, dan sebagainya," jelas dia.
Saat ditanya kapan akan dilaksanakan, dirinya menegaskan anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran pembangunannya harus cukup terlebih dulu. "Ya itu nanti, biar anggaran untuk kesra cukup, anggaran pembangunannya cukup baru itu dianggarkan," jelas Tjahjo.
Saat ditanya apakah dengan dana Rp 1 triliun tersebut cukup menjamin tidak terjadinya korupsi, politisi PDIP itu tidak menjaminnya.
"Rp 2 miliar saja masih banyak partai yang korupsi apalagi kalau tidak (dikasih dana negara). Apakah diberi Rp 1.000 triliun pun menjamin tidak terjadi korupsi, belum tentu juga," ucap Tjahjo.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK mengaku kaget mendengar adanya usulan wacana pembiayaan partai politik atau dana parpol lewat uang negara sebesar Rp 1 triliun per tahun oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. JK mengaku wacana tersebut belum pernah dibahas dalam rapat kerja kabinet.
"Apa? 1 partai 1 triliun? Beuh... kita belum bahas itu," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Veteran III.
Menurut JK, semestinya anggaran yang diberikan ke tiap partai harus sesuai dengan perolehan suara yang dimiliki oleh partai tersebut. Ia mengaku kurang sepakat bila partai dengan perolehan suara kecil disamakan dengan partai yang memperoleh suara terbanyak. (Tya/Yus)