Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan aturan terkait incumbent atau petahana dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah. MK menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.
Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman menilai, pada dasarnya putusan MK terkait politik dinasti tidak menghendaki hal-hal yang diskriminatif.
"Putusan MK itu kalau mau dibatasi petahana nya, jangan dinastinya. Bukan anak, istri, atau keponakan," ujar dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Menurut Rambe, peraturan pembatasan terhadap calon dari petahana terlihat aneh, karena juga mengatur keturunannya yang tidak boleh ikut mencalonkan. "Hal ini kan menentang kehendak yang di atas (Tuhan)," tutur dia.
Kata Rambe, bukan perihal pihaknya melegalkan politik dinasti, tetapi jangan sampai kebijakan politik dinasti sebagai upaya untuk pencitraan demokrasi.
Rambe berharap, agar permasalahan ini jangan sampai mengganggu jalannya demokrasi. Terutama menghambat pelaksanaan pilkada serentak yang mulai digelar 9 Desember 2015.
Dengan dasar-dasar hukum yang sudah diputuskan MK, Rambe juga berharap, pembatasan tetap dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik. Karena suatu pembatasan tidak boleh mengurangi hak konstitusional warga negara.
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) memberi angin segar kepada para keluarga incumbent atau petahana untuk maju dalam Pilkada serentak Desember 2015. Keluarga petahana kini bebas maju sebagai calon kepala daerah.
Pasal yang menyangkut konflik kepentingan dengan petahana sebagaimana diatur dalam UU Pilkada No 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf ‎r dianggap MK inkonstitusional.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pelegalan 'politik dinasti' ini, terutama yang berkaitan konflik kepentingan ‎dengan petahana. MK menganggap UU Pilkada Pasal 7 huruf r cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 ‎j ayat 2 UUD 1945.
MK ‎mempertimbangkan bahwa UU Pilkada Pasal 7 huruf r akan sulit dilaksanakan oleh pembuat undang-undang maupun penyelenggara Pilkada. Frasa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dinilai sangat subjektif, sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum. ‎Padahal, mencalonkan diri sebagai kepala derah merupakan hak konstiusional.
"‎Pasal 7 huruf r dan penjelasannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015. (Rmn)
Politik Dinasti Dilegalkan, Anggota DPR Ini Usul Batasan Petahana
Menurut Rambe, peraturan pembatasan calon dari petahana terlihat aneh, karena juga mengatur keturunannya yang tidak boleh mencalonkan.
diperbarui 09 Jul 2015, 16:16 WIBDiterbitkan 09 Jul 2015, 16:16 WIB
Delegasi Asosiasi Sekjen Mahkamah Konstitusi Se Asia mengunjungi Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (26/5/2015). Kunjungan dalam rangka observasi persidangan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
7 Rekomendasi Drakor untuk Kamu yang Kesepian, Cocok Buat yang Lagi Jomblo
Gawat, Banjir PHK Bikin Modus Penipuan Semakin Banyak
Volatilitas Berpotensi Meningkat di Pasar Saham, Bagaimana Strateginya?
Deretan Kuliner Nusantara yang Lahir dari Akulturasi Budaya
Rantastia Kecewa Profil Wikipedia Diubah Usai Gelar Doktor Kehormatan Raffi Ahmad Viral
Sir Jim Ratcliffe Bisa Ambil Keputusan Tak Terduga soal Masa Depan Erik Ten Hag di Manchester United
Korban Tewas Pembantaian Geng Bersenjata Haiti Jadi 70 Orang Termasuk Anak-anak, 45 Rumah Hangus Dibakar
Penyebab Kepadatan Penumpang di Stasiun Manggarai Hari Ini
Rahasia Memasak Tumis Genjer yang Lezat dan Praktis di Rumah
Kapolri Sematkan Bintang Bhayangkara Utama ke Panglima dan 3 Kepala Staf TNI
Mengintip Produk Kriya Nasabah PNM yang Jadi Incaran di Inacraft 2024
Melihat Peran Perempuan Indonesia Wujudkan Net Zero Emission