Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Kota Jakarta Selatan telah menyegel rumah yang menjadi markas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jalan Bukit Duri Tanjakan Batu, RT 02/08, Tebet, Jakarta Selatan, pada Rabu 8 Juli kemarin. Meski demikian, para JAI tetap ingin menunaikan ibadah jumatan di lokasi tersebut.
Pantauan Liputan6.com di lokasi pada Jumat (10/7/2015), puluhan jemaah Ahmadiyah sudah akan menerobos masuk ke dalam rumah yang dijadikan tempat ibadah mereka yang telah disegel.
Namun keinginan mereka mendapat pertentangan warga Bukit Duri. Cekcok sempat terjadi, walaupun tak ada aparat keamanan setempat, percekcokan tidak berujung pada kontak fisik maupun kericuhan.
Advertisement
Komite Hukum JAI, Andang Budi Satria, mengatakan, pihaknya seharusnya masih boleh melaksanakan ibadah, lantaran sudah digunakan sejak tahun 1980 sampai 1990-an.
"Tempat ibadah ini sudah kita gunakan sudah lama dari tahun '80 sampai '90-an, kita gunakan untuk ibadah. Jadi tidak ada alasan untuk menolaknya," ujar Andang di lokasi.
Selain itu, menurut dia di lokasi masih ada orang yang menunggu tempat ibadah tersebut sehingga tidak patut untuk disegel.
"Ini kan masih ada orang di dalamnya. Selain itu, ini kan hari Jumat, jadi berikan kami kesempatan untuk ibadah," tutur dia.
Sementara itu, di kesempatan berbeda, Camat Tebet, Mahludin, menjelaskan sebelum disegel, petugas sudah melayangkan dua kali surat peringatan (SP) untuk segera mengurus izin tersebut.
"Namun, ternyata tidak digubris oleh pemilik rumah dan tetap menjadikan rumah sebagai tempat ibadah,” kata Mahludin.
Minta Dukungan Komnas HAM
Sebelumnya, Ketua Ahmadiyah Cabang Jakarta Timur, Aryudi, pun meminta dukungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), dan Komnas HAM untuk mendapatkan haknya beribadah.
"Kita sudah ke Komnas HAM, LBH Jakarta, bahkan Kontras, dan menyampaikan kendala kita," ujar Yudi kepada Liputan6.com.
Hal ini dilakukan karena tekanan dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) yang protes dengan kehadiran Ahmadiyah. Yudi mengatakan lembaga-lembaga tersebut merespons baik laporan Ahmadiyah dan berniat akan menindaklanjuti diskriminasi yang dilakukan ormas.
"Karena memang kita masih saja sulit untuk salat di sana," kata Yudi.
Yudi menilai, baik FPI maupun Ahmadiyah sama-sama warga negara Indonesia yang kebebasan berkeyakinannya telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Yudi, FPI tidak berhak menghalangi seseorang untuk melakukan kegiatan keagamaan, apalagi berkomunikasi dengan Sang Pencipta.
"Ormas (FPI) adalah WNI, Ahmadiyah juga WNI. Saya melihat untuk beribadah itu hak asasi setiap warga negara dan yang kita lakukan salat," tutup Yudi. (Cho/Mut)