Lewat Surat, Eni Saragih Bantah Intervensi Tender Proyek PLTU Riau

Eni Saragih juga mengakui kesalahannya telah menerima suap PLTU Riau. Padahal, dia yakin rezeki yang didapatnya dari proyek itu sepenuhnya halal.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 17 Jul 2018, 07:16 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2018, 07:16 WIB
Eni Maulani Saragih Resmi Ditahan KPK
Tersangka anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih usai menjalani pemeriksaan dan menuju mobil tahanan di Gedung KPK Jakarta, Sabtu (14/7). KPK resmi menahan Eni Maulani terkait dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Tersangka dugaan suap PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih (EMS) membantah telah mengintervensi pemilihan tender untuk proyek pembangunan tersebut. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI itu menuliskan klarifikasinya lewat sebuah surat dari balik jeruji besi.

"Soalnya tak ada tender. Yang ada, penunjukkan langsung. Dalam proyek itu, PLN menguasai 51 persen saham. Yang saya lakukan adalah membantu proyek investasi ini berjalan lancar. Ini bukan proyek APBN," tutur Eni dalam suratnya tertanggal 15 Juli 2018.

Dalam surat yang ditulis tangan sebanyak dua halaman itu, Eni menyampaikan, PLTU Riau-1 2x300 megawatt (MW) yang merupakan bagian dari proyek 35 ribu (MW), baru di Riau-1 saja PLN menguasai saham sebesar 51 persen.

PLN kemudian hanya menyiapkan equity sebesar 10 persen. Selebihnya, akan ada dana pinjaman dengan bunga yang sangat murah yakni 4,25 persen per tahun.

"Dengan begitu, harga jual ke PLN pun murah, sekitar 5,3 sen. Sehingga diyakinkan ke depan PLN akan dapat menjual listrik yang murah kepada rakyat," jelas dia.

Kondisi itu membuat Eni yakin, pembangunan PLTU Riau-1 bisa menjadi percontohan bagi proyek 35 ribu MW. Pasalnya, dia membandingkan proyek tersebut dengan PLTU Batang.

Di sana, nilai investasi proyeknya mencapai USD 5,2 miliar dengan saham yang sepenuhnya dikuasai oleh swasta. Harga jualnya pun menjadi tergolong mahal yakni di atas 5 sen.

"Padahal, dengan proyek yang sangat besar itu, 2x1000 MW, seharusnya harga bisa di bawah 5 sen. Yang luar biasa lagi, negara menjamin proyek ini sampai 30 tahun tanpa ada kepemilikan negara di proyek ini," jelas Eni.

Eni juga membandingkan proyek PLTU Riau-1 dengan PLTU Paiton yang menjual dengan harga di atas 9 sen. "Luar biasa gilanya. Ada apa dengan proyek ini? Makanya saya perjuangkan proyek Riau-1 karena saya yakin ada sesuatu yang bisa saya lakukan buat negara ini," lanjut dia.

Dia merasa, ada kepentingan segelintir orang yang tidak mau model seperti PLTU Riau-1 berjalan. Sejumlah pihak tersebut tidak rela negara dapat menguasai aset, sebab kepentingan mereka bisa terusik.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi diharapkan dapat mempertahankan proyek tersebut.

"Ini karena model ini yang bapak mau. Saya mohon Bapak Presiden turun tangan langsung dengan proyek 35 ribu MW," ujar Eni.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Halal

Meski begitu, dia tetap sadar dengan kesalahan yang diperbuatnya. Eni menyebut kerap meminta bantuan kepada Bos PT Blackgold Natural Recourses Limited, Johanes B Kotjo, yang kini juga menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Seperti untuk aktivitas organisasi, kegiatan umat, hingga kebutuhan pribadi. Bagi dia, bos perusahaan tekstil APAC Group itu sudah dianggapnya sebagai teman baik.

"Pak Kotjo pun membantu karena mungkin beliau beranggapan yang sama kepada saya," kata dia.

Eni juga mengakui kesalahannya telah menerima dana dari proyek itu. Padahal, dia yakin rezeki yang didapatnya dari proyek itu sepenuhnya halal lantaran niatnya bertujuan untuk kepentingan negara dan rakyat.

"Saya mengakui ini salah karena saya sebagai anggota DPR (karena jabatan saya melekat) dan kesalahan ini akan saya pertanggungjawabkan di depan hukum dan di hadapan Allah swt," tutup Eni salam suratnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya