Liputan6.com, Jakarta - Banjir melanda sejumlah wilayah di DKI Jakarta. Banjir terjadi setelah hujan deras dan lama mengguyur wilayah Bogor, Jawa Barat sejak Kamis malam 25 April 2019.
Debit air Sungai Ciliwung pun meluap. Imbasnya, ribuan rumah warga yang berada di kawasan bantaran Sungai Ciliwung, terutama di Jakarta terendam luapan air pada Jumat 26 April 2019.
Salah satu wilayah yang terendam banjir kiriman pada Jumat pagi adalah permukiman di RW 07 Cililitan, Jakarta Timur. Banjir merendam ribuan rumah yang ada di kawasan tersebut.
Advertisement
Pantauan Liputan6.com, air menggenangi jalan-jalan yang berada di kawasan tersebut. Ketinggiannya rata-rata mencapai 80 sentimeter.
Menurut seorang warga, Hisyam (49), banjir pada pukul 07.00 WIB, ketinggian air mencapai satu meter hingga satu setengah meter.
"Air mulai datang jam 07.00 WIB," ucap Hisyam ditemui di lokasi.
Dia mengaku sudah terbiasa mengalami situasi seperti ini. Sejak tinggal di Cililitan pada 1970-an, kawasan ini memang terkenal langganan banjir.
"Sudah sering kayak gini," ujar dia.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPBÂ Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, evakuasi warga terdampak pun dilaksanakan oleh BPBD, Dinas Gulkarmat, Dinas Kesehatan, Dinas Kehutanan, Basarnas, PMI, petugas dari unsur kelurahan, Satpol PP, PPSU, Babinsa, dan masyarakat.
Pompa yang telah disiapkan Dinas SDA sebanyak 133 unit pompa mobile dan 465 unit pompa stasioner yang tersebar di 164 lokasi.
"Dinas SDA melalui Satgas SDA Kecamatan melakukan penanganan banjir di lokasi dengan penyedotan menggunakan pompa serta pembersihan tali-tali air dibantu PPSU Kelurahan dan Dinas Lingkungan Hidup melakukan pengangkutan sampah-sampah akibat banjir," kata dia.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta pada Sabtu 27 April 2019 mencatat, ada 37 titik di Ibu Kota yang masih terendam banjir.
Kapusdatin BPBD DKI Jakarta, Muhammad Ridwan dalam keterangan tertulis mengatakan, 14 titik banjir berada di Jakarta Selatan, 21 titik di Jakarta Timur, dan dua titik di Jakarta Barat.
Daerah yang masih terdampak banjir di Jakarta Selatan tepatnya di Kelurahan Pengadegan RW 01, Kelurahan Rawa Jati RW 01, 03, 07, Kelurahan Pejaten Timur RW 05, 06, 07, 08, Kelurahan Kebon Baru RW 010, Kelurahan Bangka RW 02, Kelurahan Petogogan RW 02, Kelurahan Pondok Pinang RW 05, 08 dan Kelurahan Pondok Labu RW 03 dengan ketinggian banjir berkisar antara 10 cm hingga 220 cm.
Sedangkan untuk Wilayah Jakarta Timur tepatnya di Kelurahan Cawang RW 01, 02, 03, 05, 08, 012, Kelurahan Kampung Melayu RW 04, 05, 06, 07, 08, Kel. Bidara Cina RW 04, 05, 06, 07, 011, 012, 014, 015, 016 dan Kel. Kebon Manggis RW 04 dengan ketinggian banjir berkisar antara 10 cm hingga 225 cm.
Sebanyak 2.942 orang mengungsi akibat banjir yang menggenangi pemukiman warga di sejumlah wilayah di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Ada 16 titik yang menjadi lokasi pengungsian bagi warga, yaitu di Jakarta Timur ada 14 titik dan Jakarta Selatan ada dua titik.
Sementara itu, dua warga meninggal dunia akibat banjir. Imas (48) yang meninggal akibat kecelakaan terseret arus kali Ciliwung di Kelurahan Kebon Baru Jakarta Selatan dan Suyanto (70) meninggal akibat serangan jantung di Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur.
Â
Â
Menyisakan Lumpur
Sementara itu, air yang perlahan surut membuat sebagian warga mulai membersihkan sampah dan lumpur yang mengendap di dalam kediamannya. Seperti dilakukan warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Mereka mulai berbenah dari terjangan banjir pada Sabtu siang 27 April 2019.
Pantauan Liputan6.com, warga masih sibuk berbenah hingga pukul 14.30 WIB. Mereka menggunakan alat seadanya mulai dari sapu lidi, pengki, serokan air, hingga panci.
Salah satu warga, Unus Buhari menyampaikan, dia bersama keluarga bertahan di lantai dua selama banjir. Ketinggian air saat itu mencapai 2 meter lebih. "Ya berenang kalau ke mana-mana," tutur Unus saat berbincang dengan Liputan6.com di depan kediamannya.
Warga lainnya, Herman (33) menambahkan, mereka sudah makan asam garam menghadapi banjir.
Sementara itu, sebagian warga Kebon Pala mengungsi. Terhitung sudah tiga hari mereka mendiami SDN 01 Kebon Pala yang dialihfungsikan sebagai tempat bernaung sementara korban banjir.
Ada sekitar lima kelas yang digunakan pengungsi korban banjir untuk tempat beristirahat. Mereka saling berbagi tempat sambil menunggu air surut.
Rata-rata mereka yang masih berada di pengungsian adalah warga pinggir kali persis. Sementara yang lainnya sudah mulai berbenah membersihkan rumahnya dari endapan lumpur dan sampah bawaan banjir.
Sementara itu, sebanyak 1.325 warga RW 07 di Kelurahan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, terdampak banjir setinggi kurang lebih 2,5 meter sejak Jumat 26 April 2019 dini hari.
"Hari Jumat subuh air naik tinggi terus warga mulai mengungsi saat itu juga karena banjirnya langsung tinggi," kata Ketua RW 07 Rawajati Sari Budi Handayani saat ditemui di Puskesmas Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan, Sabtu (27/4/2019).
Banjir yang menerjang kawasan Rawajati ini akibat kenaikan air di Bendung Katulampa, Bogor. "Di sini kan ada enam RT, RT 01 dan 02 di bawah flyover, RT 03 sampai 05 di Puskesmas ini, RT 06 di BPK," ujar Sari seperti dilansir Antara.
Sari mengatakan, banjir sempat surut pada Jumat siang hingga sore, namun pada Sabtu dini hari sekitar pukul 01.00 WIB banjir kembali naik dan pada Sabtu pagi banjir tersebut kembali surut.
Menurut dia, banjir tahun ini merupakan banjir terbesar setelah hal serupa juga terjadi pada 2017.Â
Warga yang mengungsi pun mengatakan, bantuan dari pemerintah secara maksimal. Ketua RW 07 Sari Budi Handayani mengatakan, pihak Kelurahan Rawajati dan Dinas Sosial DKI Jakarta sudah memberi bantuan berupa nasi bungkus serta bahan mentah untuk memasak namun jumlahnya masih kurang.
"Dikasih nasi bungkus cuma 200 bungkus, sedangkan kita ada 1.325 jiwa yang mengungsi. Tidak mencukupi. Akhirnya kita mengolah bahan mentah seadanya," Sari menjelaskan.
Belum adanya bantuan berupa air bersih serta genset sementara untuk menyalakan listrik juga membuat pengungsi tidak bisa membersihkan rumah dari lumpur setinggi pinggang orang dewasa meskipun sudah ada sumbangan karbol 20 liter per RT.
"Air sudah surut, tinggal lumpur sepinggang. Tidak bisa apa-apa karena belum ada air bersih dan penyedot lumpur," kata Yaya, warga Rawajati yang mengungsi di bawah flyover.
Pengungsi juga mengaku membutuhkan bantuan berupa obat-obatan, tenda, dan selimut karena saat ini mereka masih mengungsi di tempat seadanya seperti di bawah flyover Rawajati, Puskesmas Kelurahan Rawajati, dan Komplek BPK.
Banjir juga merendam kawasan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tercatat ada sekitar 340 KK di RT 05 RW 05, Pejaten Timur, yang 200 di antaranya menjadi korban banjir.
Meski banjir surut, warga masih mengungsi di sejumlah tempat, seperti Musala Jamiatul Khair, SDN 22 Jakarta, dan SMPN 46 Jakarta. Namun, ada pula warga yang mulai membersihkan endapan lumpur dari rumahnya dan berinisiatif menyediakan dapur umum.
Kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan, bertahun-tahun menjadi langganan banjir. Kondisi itu membuat banyak warga bersedia bersedia bila pemprov DKI akan melakukan relokasi.
Â
Advertisement
Langkah dan Solusi Anies
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengaku sudah mengantisipasinya banjir akibat luapan Sungai Ciliwung. Ia mengaku, seluruh petugas telah bekerja di lapangan untuk mengantisipasi datangnya air kiriman dari Bendungan Katulampa.
Anies menyebut, selain mendapat kiriman air, DKI Jakarta juga mendapatkan kiriman sampah. Sampah-sampah itu menumpuk di pintu Air Manggarai, Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat. Sampah mencapai 170 ton.
"Sampahnya luar biasa banyak. Sampah bukan dari kita. Itu sampah yang masuk dari aliran Sungai Ciliwung," kata Anies di BPRD Jakarta Pusat, Jumat (26/4/2019).
Anies menyatakan, pihaknya kini sedang membangun dua bendungan kering atau dry dam untuk mengatasi banjir. Mantan Menteri Pendidikan ini memprakirakan bendungan tersebut bakal rampung pada Desember 2019.
Anies berharap, bendungan tersebut nantinya bisa menampung debit air agar tak semuanya turun ke pesisir seperti Ibu Kota. "Targetnya bulan Desember (2019) selesai," ujar Anies di Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (27/4/2019).
Menurut Anies, banjir di Jakarta kerap disebabkan kiriman air dari Bogor setiap musim hujan. Maka dari itu, dengan adanya bendungan di Bogor, aliran air setidaknya bisa ditampung di bendungan tersebut.
"Masalahnya apa, masalahnya adalah volume air dari hulu tidak dikendalikan. Cara mengendalikannya bagaimana? Membangun bendungan untuk kemudian dialihkan secara bertahap, kemudian volume air turun ke pesisir bisa dikontrol," kata Anies.
Dia mengatakan, berdasarkan informasi dari Kementerian PUPR, Bendungan Sukamahi nantinya bisa menampung debit air dari Bogor hingga 30 persen.
Anies mengatakan, permukaan air laut di pesisir Ibu Kota sudah turun pada Sabtu 27 April 2019 sekitar pukul 08.00 WIB tadi. Maka dari itu, kiriman air dari Bogor bisa mengalir ke laut.
"Jadi memang saat ini menerima limpahan air dari hulu yang volumenya besar. Dan di Jakarta kita bersyukur sekali bahwa permukaan air laut pukul 08.00 WIB turun," ujar Anies di Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (27/4/2019).
"Kalau permukaan air tidak turun, maka aliran (air) yang turun dari pegunungan akan berhenti di Jakarta, karena tidak bisa dialirkan, jadi kita memantau terus," dia menambahkan.
Anies Baswedan memastikan pihaknya akan terus berusaha agar air kiriman dari Bogor yang mengalir ke Jakarta bisa terus diantisipasi. Caranya dengan mengubah pintu air di beberapa titik di Jakarta.
"Semua petugas kita stand by. Dan setiap ada pergerakan air laut langsung dibarengi perubahan pintu air sehingga aliran air dari hulu bisa segera tuntas," kata Anies.
Anies Baswedan mengatakan, buka tutup pintu air merupakan salah satu solusi yang efektif untuk mengurangi dampak banjir di Ibu Kota.
Menurut Anies, selama kiriman air dari Bogor deras, maka untuk beberapa tahun ini Jakarta tetap akan terimbas banjir.
"Jadi begini, solusinya memang harus pengendalian air dari hulu. Selama volume air dari hulu tidak dikendalikan maka dua tahun lagi tahu-tahu (banjir) tempat mana. Tiga tahun lagi tempat mana. Jadi ini semua terjadi karena air dari hulu ke pesisir tidak dikendalikan," kata Anies.Â