HEADLINE: Usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol, Apa Urgensinya?

Badan Legislasi (Baleg) DPR kembali membahas usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol pada 10 November 2020. Pro kontra pun bermunculan.

oleh Delvira HutabaratMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 22 Nov 2020, 20:20 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2020, 00:02 WIB
Puluhan Ribu Botol Minuman Keras Dimusnahkan
Kanwil Bea Cukai Jakarta memusnahkan 50.334 botol minuman keras, 2760 liter ethyl alkohol, 415.456 batang rokok dan 15.144 botol kosong, Jakarta, Kamis (18/12/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah mengendap lama dan menjadi polemik, Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (minol) kembali mencuat. 21 anggota DPR yang terdiri dari PPP (18 Anggota), PKS (2 anggota) dan Gerindra (1 anggota), sepakat mengusulkan agar RUU ini kembali dibahas. Usulan dilayangkan pada 20 Februari lalu, namun baru mendapat respons dengan dibahas di Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 10 November 2020. 

Pro kontra mengemuka. Sebagai pihak pengusul dengan anggota terbanyak, PPP merasa punya alasan kuat untuk membuka kembali pembahasan RUU Larangan Minol. Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi alias Awiek meyakini, RUU ini sangat urgent untuk menjadi undang-undang. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga generasi penerus bangsa.

"Jangan serta merta RUU ini disebut demi kepentingan Islam saja, tidak. Ini demi kepentingan bangsa. Kebetulan memang minuman beralkohol dilarang dalam Islam," kata Awiek, Rabu (18/11/2020).

Awiek menyatakan, masyarakat sudah menantikan adanya aturan larangan minol. Sebab, tiap hari ada saja korban berjatuhan akibat alkohol. Menurutnya, hampir tiap bulan ada korban bahkan korban meninggal.

Awiek yang juga anggota Baleg DPR itu menegaskan, besarnya keuntungan minol dari sektor pariwisata tidak sebanding dari generasi muda yang rusak. begitu juga dari sisi ekonomi.

"Berapa sih pemasukan aspek ekonominya? Dibandingkan aspek kerusakan akibat minol, tiap bulan ada korban,” tandasnya.      

Illiza Sa'aduddin Djamal, anggota Fraksi PPP yang juga salah satu pengusul RUU larangan minuman beralkohol berkilah, spirit dan tujuan pelarangan ini selaras dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 UUD 1945.

Menurutnya, larangan minuman beralkohol merupakan amanah konstitusi dan agama, pasal 28H ayat 1 undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Dia juga memastikan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol.

"Minuman beralkohol belum diatur secara spesifik dalam bentuk UU. Sebab, saat ini hanya dimasukkan pada Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pasal yang sangat umum dan tidak disebut secara tegas oleh UU," ujarnya, Rabu.

Urgensi perlunya pembahasan RUU Larangan Minuman beralkohol juga disampaikan politikus PKS di DPR Bukhori Yusuf. Dia menegaskan saat ini perlu ada undang-undang yang bisa meregulasi secara ketat minuman beralkohol. Sebab, pengaturan yang ada, mulai dari undang-undang, peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan daerah, tidak berhasil mengendalikan peredaran minuman beralkohol.

"Anak muda menjadi sasaran karena tidak ada aturan yang komprehensif," ujarnya.

Menurutnya, RUU Larangan Minuman Beralkohol ini akan menjadi payung hukum yang kuat untuk larangan minuman beralkohol. RUU ini dianggap akan menampung regulasi-regulasi sebelumnya yang sudah mengatur mengenai minuman beralkohol.

"Di rancangan UU ini kita menawarkan satu solusi agar berbagai ancaman regulasi yang ada itu ditampung kemudian merujuk pada suatu UU, ada payung yang kemudian kuat dan jelas dan payung itu sifatnya minol," kata Bukhori.

Dia pun meminta masyarakat untuk tidak cemas dengan regulasi ini. Sebab, minuman beralkohol bukanlah konsumsi harian dan devisa untuk negara juga angkanya kecil.

"Nilai devisanya sangat kecil. Tapi kerusakannya begitu besar," ucapnya.

Bukhori menyebut, RUU larangan minumal beralkohol juga tidak berlaku menyeluruh. Ada beberapa pengecualian seperti untuk adat, ritual keagamaan, pariwisata,  pengibatan dan tempat-tempat yang diizinkan. "Tidak mungkin ada suatu aturan tanpa ada jalan keluar," kata dia.

Terlepas dari sejumlah urgensi yang disampaikan pihak pengusul, perjalanan RUU Larangan Minol dipastikan akan berliku dan tidak mulus. Penolakan muncul dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan Baleg DPR sendiri. 

 

 

Infografis Poin-Poin Penting Usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Poin-Poin Penting Usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol. (Liputan6.com/Trieyasni)

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo menegaskan, RUU Larangan Minol diskriminatif terhadap kaum minoritas di Indonesia.

"Fraksi Golkar tidak sependapat. Prinsip dalam undang-undang tidak boleh ada diskriminasi, karena UU itu demi semua golongan. Sekecil apapun masyarakat minoritas itu harus dilindungi. Karena itu bentuk namanya kebhinekaan daripada Indonesia,” kata Firman pada Liputan6.com, Rabu (18/11/2020).

Firman menyebut, minol di Indonesia juga digunakan untuk ritual keagamaan dan acara adat. Jika   minol dilarang, dipastikan ada pihak-pihak merasa ada diskriminasi.

"Minol itu kan bisa dipakai untuk ritual keagamaan, bisa juga untuk wisatawan,” tegasnya.

Oleh karena itu, dia menegaskan RUU itu tak perlu lanjut dibahas. Apalagi, RUU dinilai tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja. 

"Saya rasa tidak perlu dibahas karena juga tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja. Cipta kerja kan melindungi investasi, lapangan kerja, apalagi situasi pandemi gini, konsekuensinya akan ada pengangguran,” terangnya. 

Terkait anggapan minol membahayakan nyawa dan menimbulkan banyak korban jiwa, Firman menilai hal itu tidak akan terjadi apabila tidak mengkonsumsi secara berlebihan.

"Apapun berlebihan pasti ada konsekuensinya. Kalau minol berlebihan pasti ada konsekuensinya. Jangankan minol, makan ayam cepat saji berlebihan saja bisa meninggal. Kalau ada risiko meninggal, tidak boleh dong mobil dipakai karena ada potensi meninggal kecelakaan. Enggak boleh dong pesawat,” bebernya.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pimpinan DPR RI perlu mendalami usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Dasco berpandangan, walaupun aturan yang mengatur produksi minuman beralkohol sudah ada, namun pengusul dari anggota Baleg DPR RI mungkin ingin memperkuat lagi aturan tersebut, misalnya mengenai minuman impor agar dapat melindungi masyarakat.

"Sebenarnya kalau kemudian aturan terutama di daerah-daerah yang produksi (minuman beralkohol) itu kan sudah ada. Nah, tapi ini yang menyangkut misalnya minuman impor, dan lain-lain, mungkin dirasa oleh pengusul belum kuat untuk melindungi masyarakat. Tapi nanti kita sama-sama lihat, karena hal seperti ini memang harus dikaji lebih dalam," ujar Dasco, Rabu.

Dasco meminta tidak terlalu berlebihan menanggapi dinamika yang berkembang di masyarakat, karena semua masukan maupun penolakan dari masyarakat tentu akan menjadi perhatian Badan Legislasi DPR. Hal itu nantinya akan menentukan RUU Larangan Minuman Beralkohol bisa dimasukkan lagi ke program legislasi nasional ke depan atau tidak.

"Kita lihat nanti sejauh mana. Apakah ini nanti bisa dimasukkan lagi ke prolegnas ke depan atau tidak," kata Dasco.

Dasco mengatakan RUU Mnol dulu memang pernah dibahas DPR RI periode sebelumnya, tapi baru tahap pembahasan.

Sehingga di periode sekarang, kata Dasco, RUU itu dimulai ulang lagi pembahasannya. Ia mengatakan saat ini, Baleg DPR RI masih tahap mendengar penjelasan pengusul.

Setelah itu, Baleg DPR RI akan mengkaji lagi usulan tersebut. Sebelum menyerahkan ke pimpinan DPR RI untuk memutuskan, apakah RUU Larangan Minol akan dibahas lebih lanjut atau tidak.

"Jadi untuk periode yang sekarang, itu masih dalam tahap pemberian penjelasan dari pengusul ke Baleg. Sehingga dinamika yang berkembang di masyarakat, saya pikir tidak perlu berlebihan. Justru, ini adalah suatu dinamika dalam pembahasan RUU di DPR. Di mana penolakan-penolakan maupun masukan-masukan akan menjadi perhatian dari Baleg untuk lebih mencermati pembahasan dari usulan dari pengusul tersebut," kata Dasco.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Alkohol Pemicu Kejahatan?

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon membeber fakta keterkaitan alkohol dengan kriminalitas. Menurutnya tidak ada korelasi yang kuat antara minuman beralkohol dengan tindak kejahatan.

Hanya, hasil riset yang dilakukan pihaknya menemukan fakta alkohol, dalam hal ini adalah alkohol produk oplosan memang melatarbelakangi atau memicu terjadinya tindak kejahatan.

"Jadi kalau konteksnya minol oplosan iya, dalam data di lapangan dalam penilitan kami di lima kota besar (Jakarta, Manado, Medan, Surabaya dan Bali)," ujarnya Rabu (18/11/2020).

Simon belum bisa memastikan kepada siapa nantinya sasaran RUU larangan minuman keras ditujukan. Menurutnya, jika diarahkannya kepada mereka yang mengonsumsi minol oplosan, itu menjadi tugas penegak hukum.

"Tapi kalau menyasar kepada di luar itu, banyak aspek lain, ekonomi, kesehatan, kultur. Harus dicari kajian soal itu," ujarnya.

Simon berharap DPR benar-benar teliti mengkaji masalah RUU ini. Sebab, pasal-pasal yang ada, seperti pasal ancaman pidana bagi siapa pun yang menyimpan dan mengkonsumsi minuman beralkohol, berpotensi menjadi pasal karet.

"Kata terancam pidana itu harus dikaji betul, jangan salah sasaran dan jadi bumerang. Diteliti dulu, apa yang disebut menyimpan dan mengonsumi. Menyimpan kan bisa di toko, di pabrik, dan ranahnya sudah bukan di polisi, tapi bisa Kementerian Perdagangan atau Kementerian lain yang keterkaitannya luas. Jadi ini harus hati-hati," pungkasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu berpendapat, ada sejumlah alasan kenapa RUU larangan minuman keras sebaiknya dihentikan dan tidak perlu dilanjutkan. 

Pertama, kata Erasmus, pendekatan pelarangan minuman beralkohol dapat memberi dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia. Draft RUU larangan minol menggunakan pendekatan prohibitionist, dengan memuat ketentuan Pasal 7 yang melarang setiap orang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol, larangan ini juga diganjar dengan ketentuan pidana Pasal 20

Kedua, pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 492, Pasal 300 KUHP. Hal yang sama juga termuat dalam RKUHP

"Seluruh tindak pidana dalam RUU larangan minol harusnya diharmonisasikan pada pembahasan RKUHP yang sedang dibahas di DPR, tidak perlu dengan RUU sendiri. Pemerintah sudah lama mengeluarkan aturan pengendalian alkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia No. 25 Tahun 2019 tengang pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol," terangnya.

Ketiga, DPR harus kritis terhadap pengusulan RUU ini. Pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu membuat riset mendalam mengenai cost – benefit analysis atas kriminalisasi seluruh tindakan yang terkait dengan produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minuman beralkohol.

"ICJR melihat Naskah Akademik RUU Larangan Minol tidak memuat analisis tersebut, padahal berpotensi besar membebani APBN dan para pembayar pajak untuk seluruh tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pemasyarakatan yang dilakukan atas para calon tersangka, calon, terdakwa, dan calon terpidana ini,” terangnya.

Sikap berbeda disampaikan pakar hukum pidana UII Muzakir. Merujuk pada dampak yang diakibatkan, sudah sewajarnya RUU ini ditindaklanjuti.

"RUU ini diperlukan karena dampak dari minol ini luar biasa, orang mati seketika karena minol bisa berjamaah, bisa 5 bisa 10, jadi kalau sekarang diinisiasi masuk dalam UU saya setuju sekali," ujarnya, Rabu (18/11/2020).

Dia menegaskan bahwa RUU Larangan Minol itu demi perlindungan proteksi rakyat agar tidak terkontaminasi minol yang memiliki daya rusak hampir sama dengan narkoba.

"Minol menurut saya bisa disejajarkan dengan narkoba, karena narkoba membawa dampak luar biasa sama dengan minol yang pada prinsipnya juga sama," ujarnya.

Terkait para pedangan yang akan menjadi korban nantinya, Muzakir menyatakan, itu bisa diatasi dengan mengalihkan jualan dari beralkohol menjadi non-alkohol. 

"Mereka bisa mencari sektor bisnis lain, misal jual minol dilarang, mereka bisa jual minuman non-alkohol. Minuman biasa, teh kopi dan lain lain," katanya.

Dia meyakini, jika seseorang memang pebisnis, dia akan putar cara untuk berbisnis tidak jual alkohol lagi. "Karena bisnis itu seperti air mengalir, dilarang di titik A muncul alternatif titik B, tapi diharapkan bisnisnya dapat memperbaiki masyarakat," sambungnya.

Muzakir sepakat aturan terkait minuman beralkohol yang ada saat ini masih  kurang, karena hanya mencakup skup tertentu tertentu, hanya di kota dan kabupaten tertentu.

"Harus ada persamaan, jangan satu kabupaten boleh, kabupaten sebelahnya tidak boleh, sebelahnya boleh lagi. Ini kan efeknya menjadi sama merugikan kesehatan masyarakat," sambungnya.

Muzakir juga meyakini minol dan kejahatan berkorelasi lansung. Hasil riset yang dilakukannya di Lapas Wirogunan Yogyakarta menunjukkan pelaku kejahatan jalanan menggunakan minuman keras untuk setengah mabuk agar membuat semangat tinggi tak merasa takut.

"Jadi berkelahi kita tega melakukan tindak kekerasan tanpa kontrol. Energi lebih. Tapi kalau mabuk total tidak memiliki kekuatan," ujarnya.

 

Tidak Masuk Prolegnas 2021

20160628-Wagub Djarot Musnahkan 19 Ribu Botol Miras di Monas-Jakarta
Alat berat melindas botol minuman beralkohol ilegal hasil penertiban Januari-Juni 2016, di kawasan Monas, Jakarta, Selasa (28/6). Satpol PP DKI memusnahkan 19.628 botol yang antara lain hasil penertiban di kawasan Kalijodo. (Liptan6.com/Gempur M Surya)

Polemik RUU Larangan Minol juga mendapat sorotan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Dia menyatakan, pemerintah belum membahas soal kemungkinan memasukkan RUU tersebut ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Menurutnya, RUU tersebut masih sebatas usulan sebagian anggota DPR.

"Hingga saat ini kami masih belum membahas tentang kemungkinan dimasukkannya RUU Larangan Minuman Beralkohol ke Prolegnas 2021 yang akan segera ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR," kata Yasonna dalam keterangannya, Senin (16/11/2020).

Menurut Yasonna, Badan Legislasi DPR juga belum satu suara terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut. Maka dari itu, menurut Yasonna, pemerintah masih akan melihat lebih dahulu perkembangannya seperti apa.

"RUU Larangan Minuman Beralkohol merupakan usulan atau inisiatif dari beberapa anggota DPR dan masih dalam pembahasan. Proses serta kajiannya masih panjang sebelum DPR mengambil keputusan apakah RUU ini akan dilanjutkan atau tidak," ucap Yasonna.

Yasonna juga meminta masyarakat tak perlu terlibat lebih jauh dalam polemik ini mengingat sebuah RUU masih harus melewati proses panjang.

"RUU ini juga belum resmi sebagai usul inisiatif DPR, masih sebatas rencana yang diajukan ke Baleg. Karenanya, saya berharap tidak perlu ada polemik berlebihan terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol ini di tengah masyarakat," kata dia.

Sebagaimana diketahui RUU Larangan Minuman Beralkohol kembali dibahas di Baleg usai diusulkan oleh 21 anggota DPR RI dari fraksi PPP, PKS, dan Gerindra. RUU tersebut pada saat ini baru dalam tahap penjelasan dari pengusul rancangan regulasi untuk bisa dikaji oleh Baleg sebelum menentukan RUU Larangan Minuman Beralkohol bisa dilanjutkan atau tidak.

Seperti dilansir laman resmi DPR, RUU tersebut terdiri atas 7 bab dan 24 pasal. Adapun RUU masih saja berhenti di wacana sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2015.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya