Berkaca Kasus Pinangki, Reformasi Kejagung Disebut Jauh dari Optimal

Menurut Boyamin, citra baik yang berusaha dibangun Kejaksaan Agung (Kejagung) selama ini runtuh lantaran penanganan beberapa kasus.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 25 Agu 2021, 19:15 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2021, 19:15 WIB
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung)
Gedung Kejaksaan Agung Jakarta. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

 

Liputan6.com, Jakarta - Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatat penilaian warga terhadap kejaksaan cenderung negatif. Hanya 59 persen warga yang percaya terhadap institusi aparat penegak hukum tersebut.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, survei tersebut telah mewakili masyarakat.

"Reformasi di tubuh Kejaksaan Agung masih jauh dari optimal," tutur Boyamin dalam keterangannya, Rabu (25/8/2021).

Menurut Boyamin, citra baik yang berusaha dibangun Kejaksaan Agung (Kejagung) selama ini runtuh lantaran penanganan beberapa kasus. Salah satunya adalah perkara suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra yang melibatkan Pinangki Sirna Malasari.

"Kejagung jatuh gara-gara Pinangki. Panas setahun dihapus gerimis satu menit, gerimis air mata Pinangki," jelas dia.

Dalam pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan vonis 10 tahun penjara kepada Pinangki, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun. 

Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung itu lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya, majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan memangkas hukuman menjadi 4 tahun penjara.

Boyamin lantas menyebut Pinangki seperti menerima keistimewaan dari Kejagung. Sebab, bahkan setelah putusan banding pun kejaksaan tidak mengajukan kasasi ke MA.

"Saya pun mendesak presiden untuk mencopot Jaksa Agung karena menjadikan kasus Pinangki ini berlarut-larut dan menjadikan menjatuhkan kepercayaan masyarakat," kata Bonyamin.

Lebih lanjut, hasil survei tersebut seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi Kejagung untuk berbenah. Bukan malah ramai mengunggah meme bertuliskan 'Corruptors Fight Back’ alias koruptor melawan balik di berbagai media sosial milik kejaksaan seluruh Indonesia.

"Seharusnya Kejagung menjawab survei itu dengan kinerja. Nggak usah membuat meme-meme begitu, malah lucu jadinya. Tugas Kejagung kan bukan buat bikin meme," Boyamin menandaskan.

Sebelumnya, mayoritas publik menilai bahwa vonis terhadap terpidana kasus suap dan pencucian uang yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari tidak adil. Hal itu diungkap dalam temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli sampai 2 Agustus 2021.

 

 

Sentimen negatif Masyarakat

Direktur Riset SMRC, Deni Irvani menerangkan, baik vonis Pinangki pada pengadilan tingkat pertama, yakni penjara 10 tahun dan denda Rp 600 juta maupun dalam proses banding publik menganggapnya tidak adil.

"Ada sekitar 41 persen warga yang tahu kasus suap dan pencucian uang yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dari yang tahu, mayoritas, 71 persen menilai bahwa vonis pengadilan tingkat pertama terhadap Pinangki adalah keputusan yang tidak adil," kata Deni dalam keterangannya, Kamis (19/8/2021).

Dari yang menilai tidak adil itu, lanjut Deni hampir semua responden (98,6 persen) beralasan bahwa Jaksa Pinangki seharusnya divonis hukuman yang lebih berat. Pun vonis kortingan yang didapatkan oleh Pinangki saat proses banding. Saat itu majelis hakim mengurangi hukuman Jaksa Pinangki menjadi 4 tahun penjara.

Menurut Deni, terhadap keputusan banding tersebut, hampir semua (92 persen) dari warga yang tahu kasus Pinangki menilai bahwa putusan banding tersebut tidak adil.

"Dan hampir semua (98,3 persen) dari yang menilai tidak adil itu berpendapat bahwa vonis untuk Jaksa Pinangki seharusnya lebih berat, bukan malah dikurangi," ujarnya.

Selain soal aspek kepercayaan, survei SMRC juga mengungkapkan penilaian warga pada aspek persepsi bahwa jaksa bersih dari praktik suap yang cenderung negatif dengan 59 persen warga tidak setuju. Kemudian pengawasan internal berjalan baik membukukan 45 persen ketidaksetujuan warga, dan independensi jaksa yang ternyata tidak disetujui oleh 49 persen warga.

Survei SMRC juga mengungkap ketidakpercayaan warga terhadap proses penyitaan aset dalam kasus Asabri dan Jiwasraya. Ada sekitar 29 persen warga yang tahu tentang kasus Asabri dan mayoritas diantara mereka atau 56 persen tidak yakin proses penyitaan aset dalam kasus tersebut sudah berjalan dengan baik. 

Begitu pula dengan kasus Jiwasraya, dari 29 persen warga yang tahu kasus Jiwasraya, mayoritas atau 60 persennya tidak yakin proses penyitaan aset dalam kasus Jiwasraya sudah berjalan dengan baik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya