Kata Para Pakar Terkait UU Kejaksaan yang Jadi Sorotan

Mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, menyoroti ketidakpastian dalam penegakan hukum yang diatur dalam pasal tersebut.

oleh Tim News diperbarui 23 Jan 2025, 16:22 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2025, 13:26 WIB
UU Kejaksaan
Mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, menyoroti ketidakpastian dalam penegakan hukum yang diatur dalam pasal tersebut.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan terus menuai kritik, khususnya terkait ketentuan dalam Pasal 8 Ayat 5 yang menyebutkan bahwa proses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung.

Hal tersebut dibahas dalam diskusi publik bertajuk “UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat” yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) di Hotel Horison Ultima Suites and Residence, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025).

Mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, menyoroti ketidakpastian dalam penegakan hukum yang diatur dalam pasal tersebut.

“Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana kita bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” jelasnya.

Menurut Saut, jika pasal tersebut bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, diperlukan kejelasan lebih rinci.

“Kita paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” tambahnya.

Senada dengan Saut, mantan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menilai bahwa Pasal 8 Ayat 5 perlu diatur lebih detail untuk mencegah penyalahgunaan.

“Seharusnya frasa melaksanakan tugas dan kewenangan dijelaskan secara definitif. Selain itu, jika dalam 1x24 jam Jaksa Agung tidak memberi izin, maka izin itu harus dianggap otomatis diberikan,” ujarnya.

Edwin juga menyoroti kemunduran dalam kualitas hukum akibat pasal ini. Karena izin seperti ini pernah ada sebelumnya yakni di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sudah dihapus, tetapi kini muncul kembali di Kejaksaan.

“Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” tegas Edwin.

Sementara itu, Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang bahwa perizinan seperti yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 sebenarnya tidak diperlukan. “Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” katanya.

Dibuat dalam Kondisi Tak Ideal

Fickar juga mengkritik potensi intervensi yang justru terpusat di tangan Jaksa Agung. Karena semangat awal UU ini bertujuan untuk menghindari intervensi dari pihak luar,

“Tetapi ini justru semakin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” tambahnya.

Pasal ini juga turut mengundang Akademisi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, untuk berkomentar, dimana dia menilai UU Kejaksaan 2021 dibuat dalam kondisi yang tidak ideal.

“Kita tahu ada kewenangan yang terlalu banyak ingin ditarik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum,” tandasnya.

Infografis

Infografis Jaksa Agung dan Wacana Kajian Hukuman Mati Koruptor. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Jaksa Agung dan Wacana Kajian Hukuman Mati Koruptor. (Liputan6.com/Trieyasni)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya