Pakar Nilai Hukuman Mati Paling Pas untuk Pelaku Pemerkosaan di Pesantren

Kasus pemerkosaan tersebut sudah masuk Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bandung dan masih dalam pemeriksaan saksi-saksi.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Des 2021, 10:54 WIB
Diterbitkan 11 Des 2021, 10:42 WIB
Ilustrasi tolak perkosaan terhadap anak (AFP Photo)
Ilustrasi tolak perkosaan terhadap anak (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menganggap desakan publik untuk mengebiri pelaku pemerkosaan belasan santriwati di Bandung bukan pilihan yang tepat. 

Pasalnya kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan sebagai perlakuan atau penanganan therapeutic. Alih-alih menyakitkan kebiri disebut sebagai pengobatan.

"Kalau masyarakat mau predator dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak," tegas Reza dalam keterangan tulis kepada Liputan6.com, Sabtu (11/12/2021).

Kebiri, lanjut dia, memang dapat menekan risiko residivisme. Tapi kebiri yang manjur seperti itu adalah kebiri yang dilakukan berdasarkan permintaan pelaku sendiri. Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator.

"Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped [predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara sadis dan brutal untuk melumpuhkan korbannya]. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," ujar Konsultan Lentera Anak Foundation itu.

 

Ada Hal yang Harus Digali

Di samping itu, Indra mengatakan, masalah ini sebaiknya tak dilihat dari sisi pelaku-korban saja. Dalam kasus oknum guru bejat Herry Wirawan misalnya, ada dua pertanyaan yang belum terjawab. Pertama, mengapa dia tidak meminta para santri mengaborsi janin mereka. Padahal, lazimnya kriminal berusaha menghilangkan barang bukti. Kedua, apakah selama bertahun-tahun para santri tidak mengadu ke orangtua mereka.

"Alhasil, walau dari sisi hukum kita sebut peristiwa ini sebagai kejahatan seksual, tapi dari sisi psikologi dan sosiologi ada tanda tanya: tata nilai dan pola relasi apa yang sesungguhnya terbangun antara pelaku, korban, dan keluarga mereka?" ujar Indra.

Oknum guru pesantren di Bandung, Herry Wirawan didakwa mencabuli belasan santriwatinya. Bahkan sebagai dari mereka ada yang telah hamil dan memiliki anak. Tak berhenti sampai di situ, anak-anak hasil pencabulan dieksploitasi Herry untuk mendulang donasi karena diakui sebagai anak yatim. 

Korban Lahirkan 9 Anak

Sebelumnya, Herry Wirawan menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena mencabuli santriwati di bawah umur. Dari belasan santriwati yang disetubuhi paksa, telah lahir sembilan bayi tanpa dinikahi oleh guru ngaji bejat tersebut.

Saat ini, kasus pemerkosaan tersebut sudah masuk Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bandung dan masih dalam pemeriksaan saksi-saksi.

Sidang dakwaan terdakwa HW diketahui berlangsung sejak 11 November 2021. Jaksa penuntut umum membeberkan terdakwa yang berprofesi sebagai guru atau pendidik salah satu pesantren di Kota Bandung, telah melakukan pencabulan terhadap para santri di bawah umur dalam rentang waktu 2016-2021.

Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jabar Dodi Gozali Emil mengatakan, pencabulan yang dilakukan HW terjadi sekitar 2016-2021 di berbagai tempat di yayasan KS, yayasan pesantren TM, pesantren MH, basecamp, apartemen TS Bandung, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R.

Berdasarkan informasi yang ia terima, korban dari tindakan cabul HW berjumlah 12 orang. Dari belasan santri, ada yang dikabarkan dalam kondisi mengandung.

"Kalau dari data yang saya dapat ada 12 anak korban. Rata-rata usia 16-17 tahun," ucap Dodi, Rabu (8/12/2021).

Selain itu, sebanyak lima santri dikabarkan sudah melahirkan bahkan ada korban melahirkan dua kali. "Yang sudah lahir itu ada delapan bayi, kayaknya ada yang hamil berulang. Tapi saya belum bisa memastikan," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya