Sistem Proporsional Tertutup Dianggap Akan Mengurangi Kualitas Demokrasi Indonesia

Politikus Muda PKB Rivqy Abdul Halim mengatakan, jika proporsional tertutup diterapkan, dianggap akan menganggu proses demokrasi yang ada.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jan 2023, 20:15 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2023, 20:15 WIB
pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Liputan6.com, Jakarta Polemik antara sistem pemilu secara proporsional terbuka atau mencoblos calon legislatif dengan proporsional tertutup atau memilih partai saja pada Pemilu 2024, masih menanti keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menyidangkan perkara tersebut.

Meski demikian, Politikus Muda PKB Rivqy Abdul Halim mengatakan, jika proporsional tertutup diterapkan, dianggap akan menganggu proses demokrasi yang ada.

"Sistem proporsional tertutup akan mengurangi kualitas demokrasi kita," kata dia, Jumat (6/1/2023).

Menurut Rivqy, jika tertutup, maka dominasi Partai akan terlampau dominan dalam penentuan caleg-caleg terpilih.

"Sistem proporsional tertutup berpotensi memunculkan oligarki pengurus partai dalam menentukan komposisi caleg yang bernomor urut atas. Sehingga menghambat anak muda, aktivis dan para milenial untuk berkompetisi di pileg," jelas dia.

Rivqy juga melihat, sistem tertutup tersebut akan menghambat aspirasi rakyat, lantaran tak ada ikatan emosional khusus yang kuat dengan konstituennya.

"Sistem proporsional tertutup akan semakin mengeksklusifkan para wakil rakyat dari konstituen karena anggota legislatif terpilih tidak merasa memiliki emosional khusus dengan masyarakat," kata dia.

 


Polemik

Sebelumnya, Selasa 3 Januari 2023 delapan fraksi di DPR dengan tegas menolak itu. Mereka yang menolak yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Salah satu poinnya, adalah meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

Sementara, para penggungat yang telah terdaftar dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 dan mengunggat pasal yang sama, menyatakan frasa terbuka dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya