Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut, kenaikan biaya perjalanan haji memang dilema. Menurut Ghufron, jika biaya haji tidak dinaikkan oleh pemerintah, kemungkinan akan merugikan calon jemaah haji lain yang belum berangkat.
"Pejuang ketidaknaikan biaya haji tersebut seakan membela jemaah haji yang akan berangkat tahun ini, namun tidak sadar telah membebani dan merugikan jamaah haji yang belum berangkat," ujar Ghufron kepada Liputan6.com dikutip Senin (30/1/2023).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Ghufron, calon jemaah haji yang belum berangkat akan merugi karena telah menanggung biaya jemaah yang telah berangkat. Sebab, nilai manfaat pengelolaan haji diambil secara over oleh jemaah yang sebelumnya.
"Hal inilah yang perlu kita semua ketahui, sehingga tidak kemudian menilai biaya haji dinaikkan kemudian membebani jemaah secara sewenang-wenang. Karena sebaliknya, jika tidak dinaikkan maka yang dirugikan adalah jemaah yang belum berangkat untuk (menanggung nilai manfaat yang over) yang dipakai oleh yang sebelumnya," kata dia.
Sehingga, menurut Ghufron, jika ada pihak membela dan memperjuangkan agar biaya penyenggaraan haji yang ditanggung jemaah tetap rendah, hal tersebut tersembunyi beban jemaah lainnya yang belum berangkat, karena harus menanggung nilai manfaat yang disuntikkan terlebih dahulu untuk mereka yang berangkat.
"Yang secara tidak langsung pada saatnya akan semakin menipiskan dana haji yang dikelola BPKH, dan ketika jemaah yang sebelumnya akan berangkat nilai manfaatnya bisa-bisa sudah habis. Siapa yang akan menanggung habisnya nilai manfaat tersebut? Dan hal ini akan terjadi jika kita berfikir secara adil kepada segenap jemaah yang belum berangkat yang nilai manfaat dana haji dipakai lebih dahulu," kata dia.
Â
Usulan KPK
Ghufron menyebut, KPK mengerti keadaan umat Islam yang telah menyetorkan biaya haji dengan lunas. Dia juga menyebut biaya haji memang perlu efisiensi. Karena itu KPK telah mendorong adanya efisiensi pembiayaan haji dengan tiga hal.
Pertama yakni efisiensi biaya operasional dalam negeri seperti peralatan, petugas sesuai kebutuhan serta kompeten, dan lain-lain. Kedua, efisiensi biaya luar negeri seperti tiket pesawat, hotel, dan konsumsi selama di Arab Saudi.
Ketiga optimalisasi pengelolaan dana haji oleh BPKH. Yakni perlu ditetapkan nilai manfaat yang perlu dibebankan kepada BPKH sehingga lebih terencana dengan target yang jelas dalam mengelola dana haji.
"Itu semua menjadi kajian KPK sejak 2019 (kajian optimalosasi pengelolaan dana haji oleh BPKH ) dan tahun 2020 efisiensi biaya operasional haji secara umum baik di tanah air hingga ke Arab Saudi," kata dia.
Ghufron menyebut pihaknya sudah memberikan sembilan rekomendasi terkait operasional haji kepada pihak Kementerian Agama (Kemenag). Namun dari sembilan rekomendasi itu, hanya satu yang belum dilaksanakan.
"Dari sembilan rekomendasi KPK, semua rekom telah ditindaklanjuti hanya tinggal satu yang masih belum, yaitu harmonisasi UU Pengelolaan Dana Haji dan UU Penyelenggaraan Haji, karena hal tersebut perlu kesepakatan pihak pemerintah dengan DPR," kata dia.
Â
Advertisement
Usulan Kenaikan Biaya Haji Rp69 Juta
Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan biaya haji 2023 atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp69 juta. Usulan biaya haji sebesar Rp69 juta ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata BPIH 2022 yang mencapai Rp98.893.909,11, naik Rp514.888,02 dari tahun 2022.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan, secara komposisi, ada perubahan signifikan antara komponen BPIH yang harus dibayarkan jemaah dan komponen yang anggarannya dialokasikan dari nilai manfaat (optimalisasi).
Dia merinci, komponen yang dibebankan langsung kepada jemaah, digunakan untuk membayar biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp33.979.784, akomodasi di Makkah Rp18.768.000, akomodasi di Madinah Rp5.601.840, dan biaya hidup Rp4.080.000.
Adapun biaya lainnya yaitu visa sebesar Rp1.224.000 dan paket Layanan Masyair sebesar Rp5.540.109.