Cerita Direktur KPK Kena Pungli Rp 20 Ribu Saat Urus Surat Kematian Ibu

Amir mengaku dimintai uang oleh lurah di tempatnya oragtuanya tinggal sebagai imbalan pembuatan surat kematian. Bagaimana ceritanya?

oleh Fachrur Rozie diperbarui 28 Mar 2023, 10:55 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2023, 10:51 WIB
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amir Arief mengaku pernah mengalami pungutan liar (pungli) saat urus surat kematian sang ibu. Amir mengaku ditodong Rp 20 ribu ketika mengurus surat di kelurahan di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut).

Amir menceritakan hal tersebut dalam acara "Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi & Tindak Pidana Pencucian Uang", Senin 27 Maret 2023. Amir mengaku kejadian itu terjadi pada tahun 2021.

"Tahun lalu, saya pulang kampung ke Medan, 1,5 tahun yang lalu. Tahun 2021 ibu saya meninggal di Medan, pulang kampung lah saya. Hari ketiga setelah pemakaman, saya mau urus surat keterangan kematian ke lurah, Lurah Kota Medan," ujar Amir mengawali cerita seperti dikutip Selasa (28/3/2023).

Amir mengaku mendatangi kantor Kelurahan sekitar pukul 11.00 WIB. Suasana di kantor tersebut ternyata sepi. Menurut Amir, saat itu hanya ada petugas keamanan dan petugas bagian pengetikan.

Amir mengaku saat itu petugas pengetikan sempat bertanya tujuan Amir datang ke kantor Kelurahan. Amir pun menceritakan hajatnya mendatangi kantor tersebut. 

Amir mengaku saat itu disarankan oleh petugas pengetikan untuk meminta tanda tangan lurah secara langsung ketika lurah tiba. Amir pun meminta sang adik untuk menjalankan saran dari petugas pengetikan.

"Ibu tadi yang tukang ketik ngomong ke saya 'Bang, kalau mau urus surat kayak gini minta tanda tangan jangan kami yang urus, Abang sendiri yang minta', suratnya cuma satu lembar'. 'Saya masuk ke ruangan, saya panggil adik saya 'Dah kamu aja yang masuk, deh, tunggu aja lurahnya bentar lagi datang'," kata Amir.

Amir mengaku sempat menunggu lama hingga akhirnya sang lurah pun datang sekitar pukul 15.00 WIB. Saat datang, sang lurah pun sempat mempertanyakan kedatangan Amir dan sang adik.

"Saya keluar, saya lihat dari pintu datanglah ibu-ibu, ibu lurah. Dia lihat saya, bilang 'ada mau urus apa, Bang?', adik saya jelasin 'saya mau urus surat kematian'. Cepat saja tuh tanda tangan, lima menit jadi tanda tangan. Adik saya lalu beranjak dari kursi, baru setengah beranjak bu lurah langsung teriak 'Bang kok gitu saja, Bang?'," kata Amir.

Amir mengaku saat itu mengetahui maksud lurah tersebut. Amir sempat bertanya kepada petugas pengetikan soal maksud dari pernyataan lurah 'kok gitu saja Bang'. Amir menyebut petugas pengetikan menyarankan agar langsung menaruh uang ke laci meja kerja sang lurah.

Amir pun lantas bertanya langsung kepada lurah tersebut. Lurah tersebut kemudian menodong Amir dengan nominal Rp 20 ribu.

"Saya tanya 'berapa?', 'Rp 20 ribu'. Rp 20 ribu dari warganya yang sedang berduka," kata Amir

"Mengurus surat keterangan kematian bayar Rp 20 ribu, tahun 2021, 76 tahun Indonesia merdeka, kita masih mengalami itu. Saya sendiri yang mengalami, salah orang kali," lanjutnya.

 

 

Kejar Setoran Balik Modal

Jangan Main-main, Saber Pungli Akan Disebar ke Daerah-daerah
Jika ada praktik yang menyimpang, jangan ragu untuk melaporkannya ke Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). (Ilustrasi: Tv Liputan6 Petang/Arnaz Sofian)

Dia menyebut, ada berbagai dugaan mengapa lurah itu masih menodong uang Rp 20 ribu ke warganya. Padahal menurut Amir gaji pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Medan tiga terbesar di Indonesia

"Pertama, sebabnya, bisa jadi karena anggaran enggak mencukupi, manajemen anggaran buruk, terlalu banyak kegiatan yang enggak banyak anggaran," kata Amir.

Dugaan kedua yakni sedang kejar setoran untuk mengembalikan modal. Amir yang pernah menjadi penyelidik mengaku kerap menemui kasus serupa.

"Saya dulu penyelidik, mengapa ada pegawai negeri terima uang Rp 20 ribu setiap pelayanan, karena dia harus balik modal, karena duduk di jabatan itu dia harus bayar, dan itu terbukti di beberapa Pemda, di beberapa kepala daerah ternyata begitu dia dapat jabatan, memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan sendiri," ucapnya.

Dia pun mencontohkan beberapa kasus yang ditangani KPK. Pungli jabatan di pemerintahan hingga saat ini masih ada.

"Beberapa bupati di Jateng, di Jatim, yang kita tangkap tahun lalu, memulung dari guru-guru yang mau jadi kepala sekolah negeri, guru yang mau jadi kepala sekolah negeri bayar Rp 60 juta, dari mana? Akhirnya apa, gratifikasi dari orang tua murid dan dana BOS," kata dia.

"Kemudian, yang kita tangkap dokter yang mau jadi kepala puskesmas bayar Rp 125 juta, mau jadi Kadis PUPR yang basah bayarnya sampai Rp 500 juta, yang bayar kontraktor, akhirnya dari gratifikasi," Amir memungkasi.

Infografis Deretan Kepala Daerah Terkena OTT KPK. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Deretan Kepala Daerah Terkena OTT KPK. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya