Liputan6.com, Jakarta Direktur Jakarta Barometer Jim Lomen Sihombing, menilai rencana pemerintah untuk menaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 merupakan upaya mencari fresh money atau setoran tunai bagi negara.
Menurut dia, mencari setoran tunai dari PPN sengaja dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tak mungkin kembali menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Baca Juga
Padahal, kata dia langkah itu berefek sama, yakni dapat mengunci daya beli masyarakat.
Advertisement
"Tidak mungkin presiden kita naikin BBM lagi, jadi naikin saja (PPN) sama, butuh fresh money. Jadi semuanya saling mengunci. Masyarakat di bawah situasi seperti ini," kata Jim dalam diskusi bertajuk 'Jakarta Merawat Daya Beli, Mengendalikan Inflasi,' Kamis (28/3/2024).
Dia menuturkan, daripada menaikan PPN 12 persen, Jim menilai pemerintah perlu mencari solusi lain untuk meningkatkan pendapatan negara, namun tidak membebani masyarakat. Sebab, kata dia inflasi tak hanya bakal menyebabkan panic buying tapi juga kriminalitas.
"Saya harap hasil dari forum ini ada formula-formula baru dalam menangani inflasi yang menurut saya mengerikan juga kalau itu tidak cepat kita sadari bersama, saling mengunci waduh bukan masyarakat yang panik untuk membeli bukan tapi kriminalitas yang akan muncul, mengerikan," jelas dia.
"Kita harus sadar, tingkat kriminalitas kita itu sudah menggila kenapa? karena aparat kita mohon maaf ya juga bagian dari itu ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum itu tinggi," sambung dia.
Jim menyarankan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengendalikan inflasi ialah mengoreksi besaran gaji yang diberikan kepada anggota dewan.
Dia menyebut, gaji anggota dewan cukup besar dan seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan masyarakat.
"Semoga dewan (DPRD DKI Jakarta) bisa membisiki teman-temannya 'yuk kita gajinya dipotong, tidak perlu reses lagi, ini bebannya sangat besar agar bisa dikasih ke masyarakat," ujar dia.
Pendapatan Negara Bakal Melesat
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali mengemuka ditengah transisi pemerintahan. Kebijakan ini merupakan kelanjutan atas aturan yang telah disusun dan telah ditetapkan di masa pemerintahan saat ini.
Dasar hukum kenaikan PPN 12% adalah UU No.7 Tahun 2021 tentang HPP Pasal 7 Ayat (1), salah satunya adalah mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu dari 10% menjadi 11% yang berlaku pada 1 April 2022 dan kemudian menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Praktisi Keuangan dan Bankir, Wibisana Bagus Santosa mengatakan bahwa awal mula kebijakan peningkatan PPN ini dilakukan dalam mengatasi dampak dari Covid-19, dimana menjadi tambahan penerimaan negara.
"Atas tambahan penerimaan tersebut, Pemerintah bisa membeli bantuan barang kebutuhan pandemi Covid-19 seperti vaksin dan bantuan sosial lain untuk masyarakat," ungkap dia dikutip Kamis (12/3/2024).
Wibisana melanjutkan penjelasannya bahwa meskipun saat ini kita sudah dalam fase recovery dari Covid-19, peningkatan pendapatan negara yang dihasilkan dari peningkatan tarif PPN nantinya akan digunakan untuk menunjang pemulihan ekonomi & keberlanjutan pembangunan nasional. Selain itu, kenaikan PPN ini diharapkan dapat membangun fondasi pajak yang kuat. Hal ini sangat penting bagi Indonesia di mata dunia, terlebih PPN saat ini masih relatif cukup rendah dibanding negara-negara lain.
Beliau juga menyikapi akan ada aspek di masyarakat yang terdampak, misalnya berpengaruh pada daya beli masyarakat yang kembali tertekan atau bahkan menurun. Belanja produk sekunder juga akan tertahan dimana masyarakat akan menunda untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka.
Advertisement
Daya Saing Produk Lokal
Kemudian beliau juga mengkhawatirkan bahwa kenaikan PPN juga dapat berpengaruh terhadap daya saing produk lokal, yang mana apabila produk lokal ini mengalami kenaikan harga karena kenaikan PPN, dikhawatirkan justru konsumen akan beralih ke barang import yang bisa jadi lebih terjangkau harganya.
“Pemerintah pasti sudah mengkaji dengan sangat matang atas kebijakan tersebut sehingga dapat memberikan hasil yang balance antara peningkatan penerimaan pajak dengan dampak yang akan terjadi di masyarakat. Disamping itu, masyarakat sendiri juga harus lebih selektif dalam belanja kebutuhan rumah tangganya dan dapat mengelola keuangannya secara baik. Kesadaran berinvestasi juga perlu diterapkan, seperti menginvestasikan kepada instrumen keuangan yang dapat memberikan hasil yang optimal, seperti saham, obligasi maupun reksadana," tutup dia.