RUU Pilkada Tak Akomodasi Putusan MK, Ini Respons Jubir MK

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono memastikan, MK tidak terganggu dengan langkah DPR yang membahas RUU Pilkada

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 22 Agu 2024, 16:32 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2024, 16:30 WIB
Juru Bicara MK, Fajar Laksono
Juru Bicara MK, Fajar Laksono di Jalan Medan Merdeka Barat. (Merdeka.com/Hari Ariyanti)

Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono memastikan, MK tidak terganggu dengan langkah DPR yang membahas Rancangan Undang-undangan (RUU) Pilkada. Menurut Fajar, semua agenda persidangan di MK terus berjalan sebagaimana mestinya.

"Kalau saya melihat semuanya berjalan. Semua agenda berjalan, sidang yang yang diagendakan berjalan, tidak ada yang terganggu, semuanya berjalan di MK. Semua sidang berjalan, hakim bersidang, para pihak juga dipanggil datang bersidang," kata Fajar ditemui di Gedung MK, Jakarta, dilansir dari Antara, Kamis (22/8/2024).

Ia juga menegaskan bahwa MK, secara kelembagaan, tidak bisa bersikap apa-apa terkait dengan polemik RUU Pilkada yang tidak mengakomodasi putusan MK tersebut.

"Karena bagi MK, wewenangnya selesai ketika sudah putusan itu. MK berbicara hanya melalui putusan," tambah Fajar.

Wewenang MK, kata dia, sebetulnya telah selesai dengan dibacakannya amar putusan. Melalui putusannya, MK memberi jawaban, solusi, dan tafsir terkait dengan persoalan konstitusionalitas suatu pasal.

"Dan putusan MK sudah diketok. Saya kira semua orang tahu, teman-teman wartawan juga tahu, putusan MK final and binding," ucap Fajar.

Ketika ditanya soal pelaksana undang-undang patuhi putusan, Fajar menegaskan bahwa itu sudah bukan menjadi kewenangan MK.

"Bagaimana kemudian putusan MK itu dilaksanakan, itu bukan wewenang MK lagi, itu wewenang pelaksana undang-undang. Karena yang diuji itu undang-undang, undang-undangnya sudah berubah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, silakan itu dilaksanakan," ucapnya.

Sebelumnya, Baleg DPR bersama pemerintah telah menyepakati untuk membawa revisi UU Pilkada ke paripurna. Keputusan ini diambil dalam rapat kerja tingkat I antara Baleg DPR, Kemendagri, dan Kemenkumham pada Rabu 21 Agustus 2024. Pembahasan hingga pengesahan tingkat I berlangsung cepat, dimulai pukul 10.00 dan berakhir pada 15.00 WIB.

Rapat pengambilan keputusan terkait RUU Pilkada dimulai pukul 15.30, dengan Achmad Baidowi memimpin sidang. Setiap fraksi diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat mini fraksi mereka. Dari total sembilan fraksi di DPR, hanya PDIP yang menyatakan penolakan untuk membawa RUU Pilkada ke rapat paripurna.

Alasan Baleg DPR Lebih Merujuk MA Ketimbang MK Soal Batas Usia Kepala Daerah

Habiburokhman Gerindra Sebut MK Membegal DPR dan Tidak Berhak Menyusun UU
Anggota Baleg dari Partai Gerindra Habiburokhman menyerahkan berkas pengesahan Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi menyebut pihaknya lebih condong merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai norma hukum dalam menyepakati ketentuan batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada karena lebih eksplisit.

"Atas dasar norma hukum yang lebih eksplisit itulah kemudian kami yang memiliki pandangan hukum, semua fraksi, mayoritas fraksi itu menyepakati memilih yang jelas saja yang sudah berbunyi dalam putusan," kata Awiek, sapaan karibnya, ditemui usai Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Dia menjelaskan bahwa MA dan MK merupakan dua lembaga hukum yang setingkat. Namun, dia mengatakan bahwa putusan MA No.23 P/HUM/2024 lebih jelas mengatur tentang persyaratan usia calon kepala daerah.

"Mahkamah Agung sudah memutuskan terkait dengan klausul usia itu secara jelas, eksplisit menegaskan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur bersyarat berusia 30 tahun saat pelantikan. Itu bunyi putusan Mahkamah Agung, dan itu bunyi hukum, jelas itu," ucapnya yang dikutip dari Antara.

Sementara itu, dia menyebut putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menolak pengubahan syarat usia minimum calon kepala daerah yang dihitung saat pelantikan pasangan calon terpilih, sebagaimana merujuk pada putusan MA.

"Kemarin putusannya menolak. Menolak itu bukan berarti membatalkan pasal yang sudah ada dan tidak menghapus, tidak mengubah pasal yang ada. Pasal yang ada di Undang-Undang Pilkada itu hanya disebut usia 30 tahun, tidak disebutkan kapan," ujarnya.

Atas dasar itu, Awiek menyebut putusan yang lebih tegas dengan menyebutkan usia 30 tahun disertai dengan keterangan waktu dihitung sejak pelantikan, lebih dipilih pihaknya sebab dianggap mampu memberikan kepastian.

"Nah, bunyi putusan MK kan teman-teman sudah bisa lihat sendiri. Jadi supaya tidak ada kebimbangan, supaya tidak ada kebuntuan maka perlu politik hukum untuk menjembatani persoalan ini dengan melakukan revisi terhadap undang-undang yang kebetulan revisi undang-undang ini sudah diusulkan sejak bulan November 2023," kata dia.

Dia juga menyebut MK tak memiliki kewenangan dalam merumuskan undang-undang sebab menjadi kewenangan DPR RI dan Pemerintah, termasuk dalam hal merumuskan ketentuan batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada melalui revisi UU Pilkada.

"Yang diamanatkan oleh konstitusi itu membentuk undang-undang adalah Pemerintah bersama DPR. Mahkamah Konstitusi sifatnya adalah negatif legislacy, jadi membatalkan ataupun menolak. Bukan merumuskan norma. Merumuskan norma, membuat norma itu tugasnya pembentuk undang-undang," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya