Pakar Agraria Wanti, Jangan Salah Memutus Status Tanah Sebab Berisiko Besar

Salah dalam memutuskan status lahan punya resiko cukup berat dan kalau tidak diberikan hak prioritas kepada pemilik maka bisa berkonflik.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 02 Feb 2025, 19:25 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2025, 13:48 WIB
Pesisir menjadi wilayah langganan terdampak abrasi, penurunan tanah (land subsidence) dan banjir rob (Istimewa)
Pesisir menjadi wilayah langganan terdampak abrasi, penurunan tanah (land subsidence) dan banjir rob (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Agraria Universtias Gadjah Mada (UGM) Prof Nur Hasan Ismail mewanti, hangusnya sertifikat hak milik atau SHM daratan yang terkena abrasi permanen, berpeluang memicu konflik. Menurut dia, perlu kebijaksanaan dari berbagai pihak khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait hal tersebut.

“Misal ada tambak dengan lahan cukup luas, tiba-tiba harus musnah terkena abrasi laut. Lahan serta haknya juga terhapus dalam sekejap, karena abrasi,” kata dia mencontohkan seperti dikutip Minggu (2/2/2025).

Prof Nur mencatat, ada PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Menurut dia, beleid itu menghidupkan kembali hak prioritas kepada pemilik lahan yang terkena abrasi.

"Kalau pemiliknya mau menggunakan, ya enggak apa-apa. Artinya, sertifikatnya tetap hidup. Tapi sudah tertutup air, ya enggak apa-apa. Lha wong boleh kok. Nah, kalau dibatalkan tanpa ada pemberian hak prioritas itu ya pasti konflik," jelas dia.

Prof Nur sepakat, salah dalam memutuskan status lahan punya resiko cukup berat dan kalau tidak diberikan hak prioritas kepada pemilik maka bisa berkonflik.

“Bisa muncul gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Saya kira, tinggal faktanya seperti apa. Aturan hukumnya seperti apa," sarannya.

Sementara itu, Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Rikardo Simarmata menilai, anggapan bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan, tidak diperbolehkan adalah keliru.

Menurut dia, regulasi pertanahan mengizinkan pemberian hak atas tanah di perairan sepanjang ada penggunaan tanah di bawah air seperti untuk pembangunan pelabuhan, hotel, atau fasilitas lainnya. Namun memang, regulasi di sektor kelautan belum secara jelas melarang atau mengizinkan.

Soal pagar laut, Rikardo mengaku hal itu masih menjadi misteri. Ia menambahkan, kasus pagar laut yang terungkap perlu ditelaah lebih jauh. Khususnya dari sisi legalitas, terutama terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

“Jika pagar dipasang tanpa KKPRL, maka ilegal. Demikian pula sebaliknya.Yang menjadi perhatian adalah bagaimana izin tersebut diperoleh, apakah melalui prosedur yang benar dan apakah dampaknya terhadap akses nelayan telah diperhitungkan,” jelasnya.

 

Jangan Ditarik ke Politik

Rikardo menyayangkan, jika masalah pagar laut ditarik ke ranah politik. Dia meyakini, masalahnya bakal semakin keruh, sementara rakyat kecil sebagai pemilik lahan harus kehilangan haknya dan bisa bisa memicu konflik agraria.

“Jangan sampai kasus ini justru ditarik ke ranah politik. Mari kita sikapi dengan mematuhi regulasi yang ada, baik dari segi pertanahan, tata ruang, maupun perlindungan nelayan,” dia menandasi.

Infografis Pemasangan Pagar Laut dan Dampak ke Nelayan
Infografis Pemasangan Pagar Laut dan Dampak ke Nelayan. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya