Liputan6.com, Jakarta - Jika Anda, wahai para lelaki, diminta untuk memilih antara berpenis besar tetapi menderita ejekulasi dini dan berpenis kecil tetapi tahan lama, mana yang Anda mau? Saya sendiri tidak akan mau menjawab pertanyaan jebakan seperti ini. Apalagi jika pertanyaan ini diajukan oleh seorang perempuan yang sedang saya taksir.
Mana pun yang saya pilih, kerugian tetap ada di pihak saya. Berpenis besar-ejakulasi dini sama saja dengan PHP. Cewek mana yang mau di-PHP belaka! Sebaliknya, berpenis kecil-tahan lama, tidakkah itu sama juga dengan HDPR alias Hari Depan Penuh Risiko?
Baca Juga
Mungkin paragraf pembuka seperti ini boleh juga untuk teks iklan Mak Erot yang sangat optimistis dengan pentingnya penis-besar-lagi-tahan-lama. Tentu, saya tidak memaksudkannya begitu. Apalagi beliau sudah lama almarhumah.
Advertisement
Yang ingin saya perbincangkan justru sebaliknya, yaitu mengapa penis-besar-lagi-tahan-lama (selanjutnya disingkat menjadi PBLTL) itu begitu penting bagi kaum lelaki, sehingga saking pentingnya, mereka hanya mau mempercakapkannya secara diam-diam. Kalaupun tidak, ya sambil bercanda.
Syahdan, tersebutlah dokter Boyke yang bicara serius tentang PBLTL tanpa tedeng aling-aling. Dia selalu menganjurkan kaum lelaki yang berkonsultasi padanya agar tidak perlu meributkan besar-kecilnya penis maupun lama-sebentarnya ejekulasi. Yang penting adalah hubungan pasutri yang saling penuh pengertian.
Namun, anjuran dokter top ini rupanya tidak mampu menembus gendang telinga kaum Adam. Mereka tetap memilih pergi ke Mak Erot (kini Mak Erot’s), atau membeli aneka obat di kios-kios yang berlabel "Lelaki Perkasa" atau mencoba segala pil dan herbal demi masa depan cerah, yakni PBLTL.
Anehnya, toh mereka tetap berkonsultasi kembali pada sang dokter untuk kemudian kembali tidak mempercayainya dan lebih memilih segala obat kuat plus pembesar.
Baca Juga
Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang sedang diidap oleh kaum lelaki yang mulia ini? Mengapa mereka begitu berhasrat pada utopia PBLTL itu? Oke, jika persoalannya adalah menghasilkan keturunan alias prokreasi, maka hubungan seksual yang berlama-lama sebetulnya tidak perlu-perlu amat. Makin cepat, makin baik. Praktis.
Jika Anda ingin intercourse berlama-lama, padahal tujuan Anda adalah prokreasi, maka pada dasarnya Anda sudah membajak tujuan mulia itu dengan kepentingan pribadi yang hedonistik, yaitu kenikmatan seksual. *OMG, nggak seburuk itu kalee.
Baiklah, mari kita lihat kenikmatan seksual itu sebagai nilai tambah alias surplus value semata dari tujuan prokreasi. Jadi, sama sekali bukan urusan pembajakan. Dari sudut pandang ini, meluncurnya sperma untuk membuahi ovum adalah proses alamiah yang berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan keturunan manusia.
Sederhana saja. Namun, kerumitan muncul ketika proses meluncurnya sperma itu juga membawa efek samping berupa sensasi saraf di area penis, yang kemudian dirasakan sebagai kenikmatan seksual.
Mengapa ini rumit? Sebab, pengertian "kenikmatan" sebetulnya tidaklah dikenal dalam dunia alamiah. "Kenikmatan" adalah konsep yang didatangkan dari dunia kebudayaan, sesuatu yang diciptakan oleh manusia dari rahim pikiran dan kehidupan kolektifnya.
Jadi, manusia menambahkan nilai kultural terhadap proses ejekulasi yang alamiah itu. Nilai tambah inilah yang kemudian diproduksi, dieksploitasi, didistribusi, dan diakumulasi terus-menerus sepanjang sejarah manusia. Bisa dalam wujud Kamasutra di zaman kuno, bisa dalam bentuk pornografi di zaman kini.
Bisa pula berupa praktik-praktik penikmatan seks yang lebih soft dengan segala ragamnya, mulai dari lelucon seks, rayuan gombal, cara menatap, aneka wewangian, gaya pakaian, rekayasa tubuh, sampai pada penikmatan seks secara virtual.
Dalam ledakan nilai tambah itulah kaum Adam mengais-ngais tidak hanya keuntungan seksual, melainkan juga keuntungan ekonomi dari proses ejekulasi alamiah. PBLTL yang kita bicarakan tadi hanyalah salah satu taktik dagang untuk memperebutkan nilai tambah itu.
Tapi, tunggu dulu! Jangan silap mata. Nilai tambah itu sebetulnya tidaklah diberikan oleh dunia alamiah sebagai efek samping semata, yaitu berupa sensasi saraf di area penis belaka. Seharusnya Anda curiga sejak awal bahwa di mana ada keuntungan, di situ ada kerugian. Pengambilan keuntungan dari nilai tambah itu selalu bersifat egosentris alias demi kepentingan pribadi.
Dalam hal ejekulasi, kepentingan pribadi kaum Adam-lah yang diistimewakan, sehingga PBLTL tidak lain dan tidak bukan ditujukan demi mendongkrak egosentrisme kelelakian semata, dalam persaingan pasar di antara kaum lelaki itu sendiri. Artinya, PBLTL menjadi standar untuk menentukan mana lelaki yang dianggap tulen, mana lelaki yang dibikin KW.
Dalam persaingan itu, kepentingan kaum Hawa sama sekali tidak diperhitungkan. Di sinilah terletak ketimpangannya, yaitu bahwa tubuh perempuan hanya dijadikan obyek semata dari PBLTL. Dalam situasi seperti ini, hubungan seksual menjadi ajang pertaruhan egosentrisme antar-lelaki, sedangkan perempuan hanya difungsikan sebagai pelayan kepentingan tersebut.
Karena itu, jangan dikira PBLTL dimaksudkan untuk memberikan kenikmatan seksual bagi perempuan. Tujuannya jelas, untuk mendongkrak terus-menerus egosentrisme lelaki atas lelaki yang lain dalam persaingan memperebutkan nilai tambah.
Hmm. Sampai di sini saya merasa masygul dengan dokter Boyke yang tetap optimistis bahwa saling pengertian yang apik dalam hubungan pasutri dapat diraih. Jika ketimpangan hubungan kaum lelaki dan perempuan belum dapat dijembatani, saya tidak percaya bahwa kenikmatan seksual adalah sebuah "kenikmatan". Ia hanyalah nama lain bagi pengesahan eksploitasi di kamar pribadi kita sendiri.