Djarot Prihatin Isu Sara yang Kian Berkecamuk di DKI Jakarta

Dalam persaingan Pilkada DKI Jakarta, belakangan ini kerap ditemui berbagai isu SARA. Berbagai isu tersebut kerap menjadi alat kampanye

oleh Liputan6 diperbarui 21 Mar 2017, 14:28 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2017, 14:28 WIB
Djarot
Menelisik Isu SARA Yang Kian Berkecamuk Di Pilgub DKI Dan Keprihatinan Djarot

 

Liputan6.com, Jakarta Dalam persaingan Pilkada DKI Jakarta, belakangan ini kerap ditemui berbagai isu SARA. Berbagai isu tersebut mencuat, dan dijadikan alat untuk menyudutkan serta menyerang salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Hal ini tak lepas dari pengaruh pandangan atau paham sebagian orang atau kelompok tertentu yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik itu mengenai tradisi maupun adat-istiadat, serta kepercayaan yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Munculnya isu primordial dinilai merupakan hal yang wajar, akan tetapi hal ini sayangnya tidak menjadi pendidikan politik yang baik buat generasi penerus bangsa, ucap Boni Hargens, pengamat politik.

Salah satu putri Proklamator Soekarno, Sukmawati Soekarno Putri mengatakan, kita semua masig harus belajar sejarah bangsa ini agar rasa keIndonesian kita tetap terjaga. Sebab, menurut Sukma, negeri ini didirikan atas dasar kebangsaan bukan berdasarkan agama. 

Bahkan, baru-baru ini, ketika Djarot mengikuti pengajian bulanan MT Annisa, ia mengaku baru mengetahui bahwa malam sebelum acara itu dimulai, ada pihak yang datang untuk mengancam panitia pengajian. Djarot mengaku kaget mendapat laporan tersebut. Sebelum memberi sambutannya, dia mengaku kecewa ada orang yang mengancam diadakannya acara keagamaan.

Kegiatan pengajian itu sendiri dijaga oleh polisi dan Barisan Ansor Serbaguna Nahdatul Ulama (Banser NU). Di luar lokasi acara, ada
sekelompok warga yang membawa tulisan penolakan terhadap Djarot. Mereka kemudian bubar saat pengajian selesai.

Seperti diketahui sebelumnya, kasus spanduk provokatif yang sarat dengan isu SARA sempat menghebohkan masyarakat DKI Jakarta. Sebelum akahirnya spanduk itu dicopot oleh Satpol PP DKI, spanduk larangan pensalatan jenazah bagi pendukung Ahok-Djarot marak di mesjid dan musala. Bahkan, spanduk itu telah memakan korban dua orang.

Kasus Pertama, menimpa nenek Hindun yang jenazahnya ditolak disalatkan di musala karena semasa hidup nenek Hindun memilih Ahok-Djarot. Kasus kedua menimpa Yoyo Sudaryo (56), seorang warga RT 05/02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk memilih pasangan calon gubernur muslim yakni Anies-Sandi pada hari pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran dua yang akan datang.

Pengamat Militer dan Intelejen yang juga mantan anggota DPR FRAKSI HANURA, dalam sebuah diskusi yang bertemakan ‘Menelaah Potensi Radikalisme Di Pilkada DKI Jakarta’, mengungkapkan, Ketimpangan sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi penyebab munculnya radikalisme di Indonesia.

“Sangatlah malu ketika kejadian ini dilihat oleh orang di luar negeri. Khususnya melihat pilkada DKI yang persaingannya sudah di luar dari koridor demokrasi,” ujar Nuning.

Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, prihatin isu suku, agama, ras dan antar golongan alias SARA masih saja berkembang di tengah masyarakat di putaran kedua Pilkada DKI. Djarot mengaku, hal ini masih ia temukan saat dirinya berkeliling ke sejumlah lokasi di DKI Jakarta.

“Saya mohon lah jangan digoreng-goreng isu bernuansa SARA untuk Pilkada di Jakarta. Ini tidak baik, tidak sehat, biar lah warga
menentukan pilihannya dengan nyaman di TPS,” ujar Djarot.

(*)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya