Liputan6.com, Manado - Sekitar 20 anak duduk di atas terpal biru berukuran 10x10 meter. Ditemani para pendamping, bocah-bocah berusia antara 4 – 13 tahun ini sibuk belajar membaca, menulis dan berhitung.
Suasana “sekolah” yang berada di lantai 4 bangunan pasar itu begitu ramai, tak berbeda jauh dengan kondisi Pasar Bersehati yang terletak di Kelurahan Calaca, Manado.
"Inilah aktivitas anak-anak pedagang pasar di bawah arahan Komunitas Dinding. Setiap hari Sabtu, mereka berkumpul untuk belajar bersama dibimbing oleh para relawan," kata Ketua Komunitas Dinding Jonathan Wokas, belum lama ini.
Baca Juga
Sejak berdiri 2011, Komunitas Dinding diisi para relawan yang mayoritas adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Manado. Mereka mengajar ratusan anak pedagang pasar tentang menulis, membaca, hingga berhitung.
"Total anak yang belajar di sini ada 100 – 150, dibimbing sekitar 20 relawan," ujar Jonathan, dokter muda lulusan Universitas Sam Ratulangi Manado itu.
Menurut Jonathan, separuh dari jumlah total anak itu sudah tidak bersekolah alias putus sekolah. "Sedangkan, separuhnya masih sekolah di SD Negeri terdekat," ujar dia.
Saat kegiatan belajar mengajar, di sekeliling mereka terdapat tumpukan-tumpukan cabai kering yang dijemur para pedagang. Lantai 4 berukuran 30x30 meter itu memang digunakan para pedagang pasar untuk menjemur cabai.
"Kami tak punya tempat lain, selain di lantai 4 ini yang cukup representatif," kata Jonathan.
Tak Berdinding
Meski namanya Komunitas Dinding, sesungguhnya sekolah ini tidak berdinding. "Kalau angin kencang atau hujan, tapi terpaksa menghentikan aktivitas. Kasihan anak-anak kalau basah," tambah Hesty.
Kondisi yang kurang mendukung itu tidak melunturkan semangat para relawan untuk mengajari anak-anak yang mayoritas putus sekolah itu. Saat sebagian besar kawula muda memilih untuk menjalani akhir pekan di pusat perbelanjaan atau lainnya, para mahasiswa yang menjadi tenaga pengajar di Komunitas Dinding ini lebih terpanggil untuk mendidik anak-anak pasar ini.
"Kami tidak dibayar, hanya sukarela. Mereka ini anak-anak penerus bangsa sudah hidup di lingkungan pasar yang keras, maka pendidikan itu mutlak mereka jalani," tutur Axellica Timboelang, mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unsrat Manado.
Menurut Acha, sapaan gadis cantik yang baru duduk di semester II ini, anak-anak pedagang di Pasar Bersehati itu salah satu contoh dari masih banyaknya anak-anak lain yang juga mengalami nasib sama.
"Mereka hidup di tengah kota Manado. Tapi tidak mendapat perhatian," ujar Acha yang bertekad untuk tetap mengabdikan diri sebagai relawan mengajar anak-anak itu.
Meski sudah bergerak untuk mendidik anak-anak sejak 5 tahun lalu, berbagai kendala masih dialami Komunitas Dinding.
"Dengan jumlah anak yang tiap pekannya berubah-ubah, bahkan berganti-ganti datangnya. Tentu kita kesulitan dalam membuat materi pembelajaran yang berkesinambungan," tutur Acha.
Selain itu, sikap orang tua juga terbelah. "Ada yang lebih menginginkan anak-anak ikut membantu mereka berjualan di pasar, ketimbang bersekolah di SD atau ikut belajar di Komunitas Dinding," jelas Acha.
Ahmad Lahiya, salah satu pedagang asal Gorontalo ini mendukung aktivitas anaknya. Bahkan setiap Sabtu, Ahmad mau mengantar dan menunggui anaknya yang ikut belajar. "Kalau saya mendukung anak-anak untuk belajar," ujar Ahmad, Sabtu, 30 Januari 2016 lalu.
Advertisement
Kendala Legalitas
Sebagai sebuah "Sekolah Alternatif" kendala yang dihadapi oleh Komunitas Dinding tak hanya sebatas ruangan yang tidak representatif atau proses pembelajaran, tapi juga soal legalitas. Apalagi di usia yang masih muda, anak-anak ini semestinya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal berikutnya.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. Secara faktual, kami menjalankan kegiatan belajar mengajar, tapi anak-anak ini belum bisa diikutkan dalam ujian kesetaraan atau Paket A dan B," ujar Ika Salindeho, salah satu pengurus Komunitas Dinding.
Menurut Ika, Dinas Pendidikan Kota Manado menginginkan agar anak-anak itu, khususnya yang putus sekolah, bisa bergabung di salah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai syarat bisa mengikuti ujian kesetaraan.
"Persoalannya adalah letak PKBM itu jauh dari Pasar Bersehati, tempat tinggal anak-anak. Jadi, tentu mereka kesulitan atau enggan pergi ke PKBM," ujar Ika.
Ika, mahasiswi Universitas Negeri Manado (Unima) itu menambahkan, untuk menjadi sebuah PKBM ada berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh para pengurus Komunitas Dinding.
"Ini yang membuat dilematis. Tapi, kami akan terus cari solusi untuk menyelamatkan anak-anak ini agar mereka bisa mendapat kesempatan sekolah," ujar Ika.
Tak hanya mengajarkan soal materi pelajaran, para relawan ini tak canggung untuk menggendong, atau membujuk anak-anak yang menangis akibat terjatuh. Anak-anak belajar juga bermain dengan gembira.
Mereka tak tahu soal legalitas, soal ijazah formal, atau pengakuan dari pemerintah. Yang mereka inginkan, bisa berkumpul bersama meski di tengah himpitan tumpukan-tumpukan cabai kering.