Daun Kelor, Jurus Kota Malang Tangkal Balita Gizi Buruk

Selain murah dan mudah didapat, daun kelor juga kaya akan kandungan zat besi, protein, mineral dan nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil.

oleh Zainul Arifin diperbarui 01 Apr 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2016, 19:15 WIB
Daun Kelor
Daun kelor | Via: moringa-drumstick.com

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur, mengakui selalu ada balita dengan gizi buruk setiap tahunnya. Untuk itu, pemkot memperkenalkan daun kelor sebagai makanan penangkal gizi buruk pada balita.

Caranya adalah dengan menganjurkan para ibu untuk mengonsumsi daun kelor selama masa kehamilan.

"Kami keluar masuk ke kelurahan sampai RT untuk menyosialisasikan makanan yang ada di sekitar kita. Salah satunya daun kelor," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Asih Trirachmi Nuswantari, Jumat (1/4/2016).

Selain murah dan mudah didapat, daun kelor juga kaya akan kandungan zat besi, protein, mineral dan nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil. Mulai April, Dinkes akan membagikan daun kelor dan tempe ke warga, terutama ibu hamil.

"Susu dan biskuit tetap kami beri, tapi ditambahi dengan tempe dan daun kelor untuk menambah asupan gizi ibu hamil," ujar Asih.


Balita dengan gizi buruk itu disebabkan ibu hamil yang kekurangan nutrisi. Angka kematian ibu saat melahirkan setiap tahun antara 10 - 13 orang. Dengan cara itu, ia mengharapkan angka balita gizi buruk dan kematian ibu saat melahirkan turun di 2016 ini.

"Memang sulit untuk bebas dari balita gizi buruk dan kematian ibu melahirkan. Tapi, semoga di tahun ini angka-angka itu semua bisa turun," ucap Asih.

Dinkes Kota Malang mencatat pada 2014, terdapat 125 balita dengan gizi buruk. Sedangkan, kasus gizi buruk pada 2015 sebanyak 100 balita. Total balita di Kota Malang sendiri sebanyak 67.515 balita.

"Anggaran penanganan gizi buruk itu selalu ada selama masih ada kemiskinan. Anggaran kami bagi untuk pemulihan balita dan sosialisasi," ujar Asih.

Dana sebesar Rp 600 juta disiapkan untuk pemulihan balita gizi buruk. Sedangkan, duit sebesar Rp 2 milyar digunakan untuk sosialisasi, mulai tingkat kelurahan hingga rukun tetangga.

"Gizi buruk itu akan ada sampai akhir zaman, sepanjang kemiskinan itu masih ada. Karena gizi buruk itu faktor ekonomi," kata Asih.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya