Peneliti Asing Ingatkan Siklus Tsunami di Beberapa Daerah

Beberapa gagasan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

oleh Anri Syaiful diperbarui 07 Agu 2017, 01:00 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2017, 01:00 WIB
Ilmuwan Indonesia dan AS Kembangkan Alat Pendeteksi Tsunami Terbaru
Penampakan Daerah yang dilanda tsunami di pulau Mentawai pada 27 Oktober 2010. Kini ilmuwan Indonesia dan AS tengah mengembangkan alat pendeteksi Tsunami yang lebih canggih. (AP Photo/ Achmad Ibrahim)

Liputan6.com, Jakarta Belajar dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Profesor Ronald Albert Harris dari Universitas Brigham Young University (BYU), Provo, Negara Bagian Utah, Amerika Serikat, beberapa gagasan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

Penelitian tsunami purba berlangsung di beberapa wilayah di Jawa dan pulau-pulau Sunda kecil, sebutan dari Profesor Ron Harris. Melihat dari hasil penelitian, Ron Harris menggagas jargon 20-20-20.

"Angka itu bukan sekadar angka yang kemudian muncul begitu saja. Namun, angka ini berdasarkan kalkulasi saintifik yang memperhitungkan durasi gempa yang terjadi, kecepatan tsunami, dan wilayah evakuasi aman," ucap Ron Harris, seperti dikemukakan dalam keterangan tertulis Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Minggu, 6 Agustus 2017.

Lalu, apa itu 20-20-20? Jargon ini merujuk 20 detik gempa (5 km/det x 200 det = 100 km zona pecah), 20 menit evakuasi (tsunami velocity), dan 20 meter ketinggian (tsunami model menunjukkan 20 m gelombang run-up).

Namun, Ron menyampaikan bahwa gagasan terhadap pesan itu harus adaptable dengan konteks wilayah. "Mungkin saja di Ambon 20-10-20, atau di Bali 20-20-10," tutur Ron Harris dalam diskusi membahas mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami di Badan Meteorologi, Klimatoogi, dan Geofisika (BMKG) pada Jumat, 4 Agustus 2017.

Masih dalam konteks mitigasi, Ron Harris menceritakan bahwa kelompok masyarakat di Waingapu, Sumba Timur, tidak mengetahui sejarah tsunami di wilayahnya. Dia menjelaskan memang hal itu dapat terjadi karena generasi yang hidup di wilayah itu ketika siklus gempa bumi dan tsunami yang "tidur".

Ron menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian selama ini, yang menunjukkan siklus "tidur-bangun-tidur", dan mungkin "bangun" pada periode selanjutnya. "Atau, masyarakat di Bali yang tidak mengetahui bahwa mereka hidup di bekas endapan tsunami purba," ujar dia.

Mungkin selama ini, sang profesor mengingatkan, sebagian besar masyarakat menandai tsunami pasca-gempa bumi besar. Padahal, gempa yang tidak terasa besar, namun berdurasi lama dapat menyebabkan tsunami mematikan.

Sementara itu, ketika masyarakat diberikan kuesioner mengenai pendekatan apa yang diinginkan saat peringatan dini. Sebagian besar masyarakat di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih sirene.

Namun yang terjadi, apakah semua sirene yang terpasang berfungsi secara baik? Di sisi lain, ketika warga mengetahui papan mengenai arah evakuasi saat gempa besar dan tsunami, pertanyaan kritis yang muncul mengenap kapan mereka harus evakuasi?

Saksikan video menarik di bawah ini:

 

Papan Arah Evakuasi

Gempa
Masjid yang masih berdiri ditempa tsunami di Aceh. (foto: ABC.net)

Gagasan Profesor Ron Harris, yaitu dengan menambahkan papan seperti 20-20-20 di bawah papan arah evakuasi.

Mencermati realitas dan hasil penelitian di lapangan, Ron Harris juga merekomendasikan untuk melihat kembali pemasangan rambu evakuasi seperti yang terpasang di Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Rambu evakuasi tersebut, menurut dia, tidak mengarahkan pada tempat yang tinggi. Namun, arah evakuasi masih menunjukkan wilayah yang terkena genangan tsunami.

Sementara itu, upaya mitigasi di Pulau Dewata, juga membutuhkan pendekatan di beberapa sektor seperti budaya, mengingat sesuai peraturan daerah yang mengizinkan bangunan dengan tinggi maksimal 15 meter.

Di sisi lain, berdasarkan pemodelan tsunami dari BYU bahwa dengan gempa bermagnitudo 9 di zona subduksi selatan Bali, dapat memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter.  

Satu hal yang patut disikapi dengan serius mengenai kajian penelitian Profesor Ron, mengenai trench Java dan pulau-pulau kecil sekitar. Menurut Ron, tidak ada gempa bumi besar selama 111 tahun sesudah Krakatau.

"Selama ini masyarakat Indonesia hidup dalam masa tanpa aktivitas gempa bumi dan tsunami, sedangkan populasi penduduk meningkat 10 kali lipat. Sebanyak 90 persen orang Indonesia tinggal di daerah bahaya," kata Ron.

Masterplan Tsunami

Tsunami Aceh 2004
Tsunami Aceh 2004

Menyikapi hasil penelitian Ron Harris dan tim dari BYU, UPN Veteran, Universitas Utah Valley (UVU), mereka selalu mempresentasikan di hadapan pemerintah daerah setempat. Menurut Profesor Ron, hasil penelitian tidak hanya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, namun sangat penting hasil tersebut dikomunikasikan kepada publik.

Apa yang dipaparkan oleh Ron Harris mendapatkan apresiasi tinggi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Kesiapsiagaan BNPB Medi Herlianto pada diskusi yang juga memaparkan hasil penelitian BMKG mengenai paleotsunami.

Saat ini, Indonesia telah memiliki masterplan tsunami. Namun demikian, hasil penelitian yang menghasilkan rekomendasi dapat memperbarui strategi-strategi dalam menghadapi ancaman yang lebih besar.

"Ini sangat penting untuk menyampaikan hasil penelitian kepada pemerintah, sehingga nantinya akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi berharga," Medi mengungkapkan.

Menurut dia, pesan utama mengawali paparan Ron Harris adalah jangan melupakan sejarah. Ungkapan tadi diambil Ron dari Presiden Indonesia pertama Sukarno.

Profesor Ron Harris mengatakan pula bahwa tsunami dan gempa besar yang terjadi di masa lalu bisa terjadi lagi di masa kini. "Ini memberikan kita sinyal kuat untuk selalu tangguh dan waspada menghadapi potensi bahaya yang dapat berujung pada bencana," ujar Direktur Kesiapsiagaan BNPB tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya