Liputan6.com, Cilacap - Embun di rerumputan dan tumbuhan pakis baru saja menguap. Sinar matahari menerobos kanopi-kanopi belantara pelalar atau Dipterocarpus littoralis, tumbuhan khas Pulau Nusakambangan.
Namun, kesan suram di jalanan yang tertutup pepohonan menjalar tetap terasa di pulau yang berjuluk Pulau Kematian. Saat itu mobil yang kami tumpangi pontang-panting mengejar rombongan Kakanwil Kemenkumham dan sejumlah Kalapas Nusakambangan yang mengendarai mobil dobel gardan.
Memasuki hutan belantara, kendaraan semakin dipacu cepat ketika melintas di jalan lurus yang agak menurun. Ketika jalan mulai menanjak, beberapa kali sang sopir, Eddy Teguh Widodo, Kalapas Kelas IIA Besi, membunyikan klakson.
Advertisement
"Nah, ini yang disebut Mbah Sukur," tuturnya.
Eddy tak menjelaskan secara spesifik siapa sosok Mbah Sukur yang dimaksud. Sesaat melintas di tempat itu yang terlihat adalah semak dengan batas vegetasi pepohonan menjulang tinggi. Seingatku ada jembatan kecil di situ.
"Biar orang sini asli saja yang menjelaskan," ujarnya.
Baca Juga
Terdorong penasaran, sepulang dari kunjungan Lapas, kebetulan kami bertiga berganti mobil. Seorang staf Lapas ditugaskan mengantarkan kami. Tetapi, belakangan, dia tak mau disebut nama terangnya dalam kisah ini.
"Ndak enak, Mas," katanya, beralasan.
Dia mengaku baru mulai bertugas di Nusakambangan akhir 2014 lalu, atau baru sekitar 2,5 tahun. Namun, cerita-cerita seram sepanjang jalan menuju kantornya menyebabkan dia tak pernah mau pulang malam. Jika sore pun, dia menimbang-nimbang keadaan.
"Kalau ada teman seperjalanan tidak masalah. Tapi kalau sudah sore, apalagi malam tidak ada teman, lebih baik saya bermalam di kantor," ujar dia.
Soal sosok Mbah Sukur, dia menerangkan, berdasar cerita para petugas senior Lapas, sosok Mbah Sukur adalah pria tanpa kepala yang kadang menampakkan diri di malam-malam tertentu. Makanya, ia pun tak pernah mau pulang malam, apalagi pada malam-malam keramat.
"Perawakannya seperti laki-laki, tinggi, pakaiannya biasa. Tapi tidak ada kepalanya. Katanya banyak yang melihatnya, Mas. Kalau malam saya nggak berani pulang," tuturnya.
Untuk mengobati penasaran, saya pun bertanya kepada petugas Lapas yang sudah cukup senior. Lagi-lagi, dia enggan disebut namanya. Ia bertutur, sosok Mbah Sukur tak lepas dari riwayat Nusakambangan sebagai salah satu tempat dibuinya ribuan tahanan politik pascaperistiwa 65.
Sebagian di antaranya, dieksekusi di sejumlah Lapas kuno Nusakambangan yang kini tak lagi digunakan, seperti Lapas Nirbaya, Karang Tengah, Limus Buntu, Karang Anyar, dan Lapas Gleger.
"Eksekusi kadang tidak dilakukan dengan ditembak. Ada pula yang dipenggal," tuturnya, berbisik, seolah ada yang hendak mendengar percakapan kami.
Namun, penjelasan ini pun tak tuntas. Musababnya, ketika ditanya, sosok Mbah Sukur ini sebagai eksekutor atau salah satu napi yang dieksekusi, ia menggeleng. Dan sosok Mbah Sukur pun, tetap misterius, semisterius pohon pelalar yang kanopinya menjalar-jalar sepanjang jalanan Nusakambangan.