ICW-FH UTM: Program JKN di Bangkalan Belum Maksimal

Data peserta JKN PBI di Bangkalan, ternyata tidak valid dan banyak kartu dobel.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 13 Sep 2017, 22:00 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2017, 22:00 WIB
foto UTM
peneliti ICW Wana Alamsyah dan Ketua Tim FH UTM, Fauzi/ musthofa aldo

Liputan6.com, Bangkalan - Selama empat bulan, antara Mei hingga Agustus 2017, tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkaji pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.

Hasilnya, tim menyimpulkan pelayanan kesehatan bagi pasien PBI di Bangkalan, belum sesuai harapan.

"Menurut aturan, yang masuk kategori PBI itu warga miskin yang penghasilannya tidak mencukupi," kata Ketua Tim Peneliti FH UTM, Fauzin, Selasa, 12 September 2017.

Fauzin mengatakan, tim pemantau mendapati seorang pasien yang tidur di teras di ruang rawat inap. Rupanya, pasien itu sengaja memilih tidur di luar karena ruangan rawat inap di RSUD Syamrabu Bangkalan pengap dan panas.

"Di dalam ada AC, tapi rusak,” ujar Fauzin sambil menunjukkan foto seorang pasien tua tidur pulas di teras ruang rawat inap. Selain di rumah sakit, tim juga menilai fasilitas kesehatan di puskesmas belum merata.

Fauzin mencontohkan, mayoritas warga di Kecamatan Galis enggan berobat di puskesmas setempat. Mereka lebih memilih berobat ke Puskesmas Blega, padahal jarak tempuhnya sangat jauh.

"Ternyata, fasilitas puskesmasnya kurang memadai. Ada juga keluhan obat-obatan sering kosong, sehingga pasien harus beli di luar puskesmas dengan biaya sendiri. Ini menunjukkan sarana kesehatan belum merata," dia mengungkapkan.

Dari sekian banyak temuan, Fauzin mengatakan yang paling kacau terkait data peserta JKN PBI. Data yang dimiliki Dinas Sosial, BPS, Dinas Kesehatan dan BPJS berbeda-beda. Bahkan, tim juga menemukan satu warga menjadi peserta tiga program JKN sekaligus seperti Jamkesmas, Sehati, dan KIS.

Dia mencontohkan, dalam data kapitasi di Kecamatan Kokop tahun 2016 tercantum jumlah penerima sebanyak 82 ribu lebih. Namun, dalam buku Bangkalan dalam angka terbitan BPS tercantum jumlah warga Kokop tahun 2015 dan 2016 kurang lebih hanya 72 ribu jiwa.

"Kok perbedaannya bisa mencolok, terus selisih dana kapitasinya gimana," kata dia.

Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah menilai, belum meratanya fasilitas kesehatan berkaitan erat dengan masih tingginya korupsi bidang kesehatan. Hasil penelitian ICW antara tahun 2010 hingga 2016 menunjukkan, objek korupsi di sektor kesehatan bergeser dari korupsi dana obat-obatan ke korupsi dana jaminan kesehatan.

"Korupsi alat-alat kesehatan masih menempati urutan pertama," ujar dia.

Data ICW menyebutkan, korupsi sektor kesehatan pada tahun 2010-2016 sebanyak 219 kasus dengan 519 tersangka. Kerugian negara mencapai Rp 890 miliar dan suap di dalamnya sebesar Rp 1,6 miliar.

Modus korupsi bidang kesehatan, imbuh Fauzin, paling umum berupa mark up atau  penggelembungan anggaran. Kerugian negara akibat mark up mencapai Rp 512,9 miliar.

Sementara dari sisi lembaga, ada lima lembaga jadi lokus korupsi kesehatan, yaitu Dinas Kesehatan dengan 97 kasus, rumah sakit dengan 89 kasus, Kementerian Kesehatan dengan 12 kasus, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) dengan tujuh kasus, dan DPRD dengan lima kasus.

"Pegawai Negeri Sipil mendominasi sebagai pelaku korupsi. 56,8 persen atau 295 orang dari 519 tersangka berstatus PNS," Wana mengungkapkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya