Liputan6.com, Banyumas - Tiap kebudayaan, menciptakan kearifan lokal dan ilmu pengetahuannya. Pun dengan komunitas masyarakat Kejawen, Komunitas Trah Banokeling di Pekuncen Kecamatan Jatilawang, Banyumas.
Mereka memiliki tradisi yang unik dan selalu menjadi ritual tiap tahun sebelum memasuki awal Ramadan. Tradisi itu diturunkan ke ribuan anak cucu yang tersebar di Banyumas, Cilacap dan berbagai daerah lainnya.
Penanggalannya pun berbeda dengan kalender Masehi (matahari) dan Qomariyah (lunar atau rembulan). Mereka memiliki almanak Alif Rebo Wage (Aboge), sebuah sistim perhitungan hari yang lantas kerap menyebabkan salah kaprah dengan menyebutnya sebagai Islam Aboge.
Advertisement
Baca Juga
Penanggalan Aboge mendasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Almanak ini memiliki siklus delapan tahunan atau sewindu.
Sebab itu, terkadang, hari besar tertentu, termasuk awal Ramadan, tiba di saat yang bersamaan dengan ketetapan pemerintah. Tetapi, sering pula, awal bulan berbeda dengan penanggalan pada umumnya.
Berdasar penanggalan Aboge itu, awal Ramadan atau Puasa penganut Kejawen Banyumas dan Cilacap tiba pada Kamis (15/5/2018) esok, bertepatan dengan hari pasaran pahing. Lantaran berdasar rembulan, maka pergantian hari terjadi pada petang, saat matahari tenggelam dan bulan muncul.
Cara Penghitungan Awal Ramadan atau Puasa dengan Kalender Aboge
Juru Bicara Pemuka Adat Trah Banokeling, Sumitro menerangkan, tahun ini dalam almanak Aboge adalah tahun Dal dengan perhitungan Daltugi.
Jika dihitung dengan rumus nem ro (enam dua) maka, hari puasa dihitung hari keenam dihitung dari Sabtu dan hari pasaran kedua.
Dengan begitu, puasa atau Bulan Ramadan 1439 Hijriyah dimulai pada Kamis Pahing, pekan ini.
"Masuk bulan puasa malam kamis, Kamis pagi sudah berpuasa. Kamis pahing. Tahun Dal. Perhitungannya Daltugi," ucapnya kepada Liputan6.com, Selasa, 15 Mei 2018.
Dia pun mengklaim, dengan almanak Aboge, puasa tahun ini sudah dihitung sejak beberapa tahun lalu. Begitu pula dengan puasa tahun depan.
Sebab, perhitungannya memakai rumus yang jelas dan memakai kalender delapan tahunan atau sewindu.
"Setu Manis, tanggal satu suro, sehingga sampai bulan puasa ya, rumus nem ro (enam dua). Enam dihitung dari Sabtu, sampainya hari keenam. Ro-nya, pasarannya dua, Kamis pahing. Sudaah dihitung sejak tahun lalu. Tahun besok, puasanya juga sudah ketemu harinya apa," dia menerangkan.
Advertisement
Tradisi Panganut Kejawen Jelang Bulan Ramadan
Sebelum masuk bulan puasa atau Ramadan, pada bulan Sadran atau Sya’ban ini, masyarakat Kejawen terutama Anak Putu Banokeling menggelar berbagai ritual.
Kamis hingga Sabtu pekan lalu, ribuan keturunan Banokeling dan pengikutnya menjalani ritual Punggahan dengan Laku Lampah (Berjalan kaki) dari rumahnya masing-masing menuju Panembahan Banokeling.
Mereka antara lain tersebar, di Adipala dan Daun Lumbung Kabupaten Cilacap, serta anak putu dari Kedungwringin Kabupaten Banyumas. Mereka berjalan berombongan menuju desa Pekuncen yang sekaligus makam Kiai Banokeling.
Sejak Kamis hingga Sabtu, mereka menggelar ritual mulai dari muji (berdoa), resik kubur (membersihkan makam) dan ritual lainnya. Tahun ini, ritual punggahan diikuti oleh 1.200 orang.
Kemudian, pada Senin (14/5/2018), khusus trah Banokeling di Desa Pakuncen menggelar ritual Rikat Akhir, yakni membersihkan lokasi makam Panembahan Banokeling. Sekitar 300 orang terlibat dalam tradisi tahunan ini.
Anak Putu Banokeling, sebagaimana masyarakat adat kejawen pengguna Almnak Aboge lainnya, membagi kalender dalam kurun waktu delapan tahunan atau sewindu.
Masing-masing tahun memiliki nama, yakni Alif, Ha, Jim, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim akhir. Satu tahun terdiri dari 354 hari di 12 bulan. Satu bulan terdiri dari 29-30 hari.
Di luar nama hari, kalender Jawa juga mengenal hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.