Taringnya Jadi Jimat, Puluhan Beruang Madu di Riau Dibantai

Sebanyak 43 ekor beruang madu di Riau dibantai untuk diambil taringnya. Hal ini diperkuat dengan temuan ratusan taring beruang madu di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.

oleh M Syukur diperbarui 08 Mei 2019, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2019, 19:00 WIB
Taring beruang madu yang diserahkan petugas Bandara Sultan Syarif Kasim II ke Balai Karantina Pertanian Pekanbaru.
Taring beruang madu yang diserahkan petugas Bandara Sultan Syarif Kasim II ke Balai Karantina Pertanian Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Sebanyak 43 beruang madu di Provinsi Riau dibantai untuk diambil taringnya. Hal ini dibuktikan dengan temuan 172 taring hewan berkuku panjang itu oleh petugas Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru beberapa waktu lalu.

Ratusan taring beruang madu itu dikirim memakai jasa perusahaan ekspedisi JNE. Dari alamat tertera, pengirim barang memakai kardus ukuran 26x20x14 sentimeter itu dari Pekanbaru dengan tujuan Jakarta Barat.

"Diduga alamat itu palsu untuk mengelabui petugas, barang sitaan diserahkan ke Balai Karantina Pertanian Pekanbaru," jelas General Manager PT Angkasa Pura II Jaya Tahoma Sirait, Rabu (8/5/2019).

Jaya menyebutkan, petugas mulai curiga ketika memeriksa kardus memakai X-ray yang tertulis berisi makanan. Ketika dibuka, petugas menemukan puluhan bungkus plastik berisi taring hewan.

"Paket ini juga tidak ada dokumen karantina, lalu diserahkan ke Balai Karantina Pertanian Pekanbaru," ucap Jaya.

Kepala Balai Karantina Pertanian Pekanbaru Rina Delfi menyebut pihaknya sudah melakukan identifikasi awal morfologi dan mencurigai benda sitaan itu adalah taring beruang madu. Pihaknya juga melakukan uji lebih lanjut ke Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor.

"Peneliti LIPI lalu memperkuat identifikasi awal, taring ini merupakan milik hewan bernama latin Helarctos malayanus," sebut Rina di kantornya.

Rina menyatakan, pengiriman taring beruang madu tanpa sertifikat melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta PP Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.

Sudah Diuji LIPI

Ratusan taring milik 43 beruang yang dibantai diserahkan petugas bandara ke balai karantina pertanian.
Ratusan taring milik 43 beruang yang dibantai diserahkan petugas bandara ke balai karantina pertanian. (Liputan6.com/M Syukur)

Dalam pasal 6 UU tersebut dijelaskan, setiap media pembawa hama penyakit hewan karantina (HPHK) wajib dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah asal bagi hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.

"Selanjutnya dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk dilakukan tindak karantina," ucap Rina.

Rina menyebut 156 taring beruang madu sudah diserahkan ke Balai Besar Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau untuk tindakan lanjut. Sementara sisanya akan dijadikan sampel arsip.

"Karena ada yang digunakan juga untuk pengujian di LIPI. Selanjutnya kerja sama yang baik dengan pihak bandara ini terus berlanjut agar barang ilegal tak beredar di masyarakat," sebut Rina.

Sementara itu, Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau Mahfud menyebut pengusutan kasus pembantaian 43 ekor beruang madu ini akan diserahkan ke Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatra.

Menurut Mahfud, beruang madu tidak mungkin diambil taringnya ketika hidup. Dia pun menduga pencabutan taring dilakukan pemburu ilegal yang masih berkeliaran bebas di Riau.

"Manusia merasa sombong dan lebih berhak hidup, padahal beruang ini juga makhluk ciptaan Allah, menjaga keseimbangan alam juga dilindungi," tegas Mahfud mengutuk pembantaian beruang ini.

Mahfud menjelaskan, sebaran beruang madu di Riau merata di setiap kabupaten dan kota yang ada. Tak ayal sering terjadi konflik dengan manusia, di mana beruang madu selalu jadi korban.

 

Dijadikan Jimat

Penyerahan ratusan taring beruang madu ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau.
Penyerahan ratusan taring beruang madu ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau. (Liputan6.com/M Syukur)

Mahfud mencontohkan kasus di Kabupaten Indragiri Hilir beberapa tahun lalu. Ketika itu ada empat beruang terjerat lalu dimakan beberapa warga setempat. Kasus ini berujung ke penegak hukum.

"Kasus taring ini juga disengaja, kalau pelakunya tertangkap terancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta, tapi ini tak sebanding dari sisi ekologis," jelas Mahfud.

Mahfud berharap kasus ini merupakan yang terakhir kali di Riau. Dia tidak ingin keberadaan beruang madu hanya tersisa cerita kepada anak cucu dimasa yang akan datang.

Selama ini, beberapa kalangan menganggap memiliki taring beruang madu punya khasiat tersendiri. Biasanya digunakan untuk pengobatan, jimat, praktik perdukunan hingga pelaris serta pembawa kharisma bagi pemakainya.

Hal tersebut, tegas Mahfud, hanya mitos belaka. Selama ini belum ada pengetahuan medis yang bisa membuktikan kegunaan daging ataupun taring beruang madu.

"Mungkin dokter hewan yang lebih tahu apa kegunaan taring ini," ucap Mahfud.

Hanya saja, tambah Mahfud, harga taring beruang madu bernilai tinggi jika dikaitkan dengan mitos. Sama halnya dengan harga kumis harimau yang diambil ketika datuk belang itu masih hidup.

"Tapi apakah mungkin diambil ketika beruang itu hidup. Meskipun nilainya tinggi tapi tak seimbang dengan ekologis yang diakibatkan," terang Mahfud.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya