Liputan6.com, Yogyakarta - Satu-satunya duta teh Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Teh Menoreh hadir dari kebun teh di dua kecamatan Kulon Progo. Teh Ki Suko dan Teh Sangrai Menoreh menjadi dua jenis teh Menoreh yang terlihat jelas di pasaran nasional hingga dunia.
"Kalo Yogya ya teh Menoreh dan teh Green Tea Ki Suko ini produknya dari Girimulyo dan Samigaluh. Kami sempat ribuan (bungkus teh) tidak nyampai dua minggu habis. Pernah kirim ke Bali, Lombok, Sumbawa, Banda Aceh cakupan nasional tapi lebih banyak suvenir wisata seperti Perancis, Jerman, hingga Korea," kata Sukohadi Ketua Pengelola Kampung Teh Suko kepada Liputan6.com Kamis (25/7/2019).
Sukohadi mengatakan Teh Menoreh dengan produk Teh Ki Suko memiliki 5 varian. Sementara teh Sangrai Menoreh hanya satu varian saja.
Advertisement
Baca Juga
"Green Tea, Yellow Tea, White Tea yaitu teh putih warnanya silver, satunya aslinya teh raja Mataram kalo diluar teh Black Dragon itu penemuan kami. Datang dari dosen Kanada, guru besar Jerman, Australia, universitas Handong Korsel karena orang luar kesulitan maka kami kasih nama Black Dragon dan satu lagi Red tea. Kalau Sangrai Menoreh hanya satu varian saja," katanya.
Sukohadi menjelaskan kebun teh di Nglinggo, Kulon Progo ini menjadi satu-satunya kebun teh di Yogyakarta. Ia mengklaim wilayah ini memiliki budaya teh yang baik di DI Yogyakarta.
"Bantul tidak ada karena teh itu minimal di DPL 600 kami di 9000-1500," katanya.
Teh Ki Suko merupakan teh premium dari teh Menoreh yang diambil dari buruh tani yang ada di dua kecamatan langsung. Namun, SOP pemetikan mulai dari kapan memetik, cara memetik hingga proses budidaya sesuai dengan standar dari Pusat Pengolahan Teh Menoreh atau PPTM.
"Teh Ki Suko itu 50 persen hasil dari petani buruh kami beli dan pasarkan. Permintaan tinggi itu untuk wisatawan. Kandungannya 0 metal, kalo pabrikan walaupun 0,00 sekian mereka ada. Di sinilah kami jadi teh sehat. Ini membantu masyarakat kecil," katanya.
Keistimewaan Teh Menoreh
Sukohadi mengatakan Kampung Teh Suko menyediakan Teh Menoreh yang memiliki keistimewaan tersendiri. Pengelolaan budidaya teh dengan riset membuat perbedaan teh ini dengan pengelolaan teh daerah lain.
"Kami ada risetnya, teh kami itu beda dengan yang lain," katanya.
Ia mengaku walaupun teh Menoreh miliknya tidak pekat, tetapi rasanya kuat. Menurutnya, dari riset yang ada, rasa pahit teh Menoreh itu memiliki kandungan anti oksidan yang tinggi.
"Di sini kami tingkat antioksidan tinggi. Yang dikelola cenderung tinggi itu di Ki Suko dan PPTM. Di luar PPTM, dari riset guru besar California itu hanya 0,15% kita sampai 37%. Ada dari Jepang itu sampai 15 kami lebih tinggi dari mereka," katanya.
Ketika menyeruput teh ini terdapat sensasi rasa yang ternyata menandakan kandungan berbeda dari teh ini. Kerennya, kandungan tersebut memiliki fungsi masing-masing bagi kesehatan.
"Rasa gurih aroma gurih itu kandungan Katekin itu. Rasa sepet itu mengandung Polypenol itu bisa mengecerkan gumpalan darah. Anti oksidan untuk mendetok tubuh. Katekin itu untuk mengerakkan sel otak bagi yang banyak mikir penting. Bisa diperbaiki daya tangkap itu akan cepet dengan Ketekin ini, ya setara omega 3," katanya.
Sukohadi mengatakan salah satu ciri khas teh Menoreh dapat dirasakan dari rasa pahitnya. Selain itu, masa penggunaan teh terhitung lebih lama dengan teh pabrikan.
"Ciri khas pahit, sepet, segernya masuk langsung. Sekali disajikan kalo Green Tea bisa tahan lama, habis semalam paginya diseduh lagi masih enak. Di luar sana diseduh lagi begitu, sudah beda karena proses pengolahannya beda," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Cara Menikmati Teh Menoreh
Setiap daerah memiliki budaya sendiri ketika minum teh termasuk di Kulonprogo. Hal ini juga ia ajarkan kepada para wisatawan yang datang ke Kampung Teh Suko.
"Cara minumnya satu sendok makan tehnya, karena kalau premium ukuran 150 ml bisa diseduh 5-6 kali masih pekat dan bagus walaupun warnanya tidak sama tapi masih tajam ini kan teh sehat," katanya.
Bagi pengunjung yang datang ke Kampung Teh Suko akan disajikan teh dengan tiga gula. Gula pasir, gula batu atau kristal, dan gula jawa atau gula aren.
Kebanyakan masyarakat meminum teh dengan gula pasir, ini yang tidak dianjurkan. Sebab, gula pasir justru akan membuat potensi yang tidak baik bagi tubuh sehingga ia merekomendasikan menggunakan gula Jawa.
"Ada yang suka gula pasir, gula kristal, dan gula Jawa. Kami rekomendsikan tidak pakai gula pasir, mudah terserap di dalam tubuh dan merusak pankreas. Kalau kristal bisa terbendung sedikit," katanya.
Masyarakat sekitar memilih meminum teh dengan gula Jawa. Caranya, meminum teh menggunakan gula Jawa, yaitu gula dimakan terlebih dahulu kemudian baru meminum teh.
"Kalau gula aren, dicekik lalu dikunyah karena apa? Ini biar campur dengan kelenjar kolektif dulu, setelah itu dihantam antioksidan (dari teh) bisa langsung kuat dan segar. Itu kenapa orang hidupnya panjang," katanya.
Membeli teh premium di Teh Menoreh perlu merogoh kocek agak dalam. Pasalnya, harga teh premium curah itu sampai Rp1 juta per kg, lalu Teh Sangrai Menoreh 1 kg rata-rata Rp80 ribu.
"Green tea premium 150 sampai 200 ribu untuk lokal, kalau White Tea 25 gram sampai Rp250 ribu, kalau lokal 35 ribu. Yellow Rp100-150 per 1 kg kering kalau penjualan 80 gram itu Rp15 ribu. Black Dragon Rp150 ribu kalau wisatawan luar Rp300 ribu kalau Red Tea sama dengan Yellow Tea," katanya.
Pengolahan Teh Menoreh
Pengolahan Teh Menoreh tidak luput dari keberadaan para petaninya di wilayah bukit Menoreh yang 80% ada di Kecamatan Samigaluh. Setidaknya ada 18 kelompok tani teh dengan 370 KK yang mulai membudidayakan teh.
"Ada tekniknya, pesangraian ada risetnya," katanya.
Sukohadi mengatakan pengolahan teh yang baik maka akan menghasilkan kualitas teh yang baik pula sehingga proses pengolahan menjadi kunci dari produk Teh Menoreh ini.
"Kualitas teh ditentukan (letak) DPL-nya, budidaya, kontur tanah, cara petik, waktu petik, dan oksidasi enzimatis. Lalu proses pengolahan dan proses budidaya," katanya.
Pengolahan teh Menoreh ini tidak lepas dari budaya masyarakat sekitar. Setidaknya sudah ada standar sesuai kualifikasi dari PPTM yang tidak dijumpai di luar Yogyakarta.
"Kita sudah ada SOP khusus kami, beda jauh di luar sana. Ini murni dari masyarakat kecil semua," ujar mantan bankir ini.
Pihaknya yang tergabung dalam PPTM memiliki visi misi mengangkat perekonomian petani perkebunan.
"Kami ingin membuktikan berikhtiar dan mohon yang Kuasa biar petani perkebunan, walaupun punya tanah sejengkal tapi profesional akan mengahadirkan ekonomi yang tinggi. Contoh, buruh sama perusahaan 20 kg dibayar 16 ribu kalau buruh sama Kampung Teh Ki Suko dapat 20 kg yang sesuai dengan SOP kita, bisa kantongi 200 ribu itu kan ada signifikan nilainya," katanya.
Advertisement
Perjuangan Petani Teh
Menjadi petani teh di bukit Menoreh Kulon Progo, DIY memang tidak mudah terlihat dari luasan lahan kebun teh yang awalnya 750 hektare sekarang tinggal 136,5 hektare. Hal ini karena hasil panen teh dihargai sangat rendah oleh perusahaan sehingga banyak beralih ke komoditas lain.
"Dulu kemitraan dengan perusahaan itu, pucuk teh dihargai Rp750. Itu untuk operasional enggak nutup. Lalu Sultan menyubsidi 250 lalu Pagilaran naik 250 jadi 1.250. Tapi setelah subsidi selama 5 tahun tidak disubsidi, pagilaran tetap di harga seribu. Semua menjerit lahan mau dibabat habis," katanya.
Melihat kondisi ini ia pun mengadu ke beberapa instansi terkait di Pemkab Kulon Progo. Pemerintah setempat kemudian memberikan bantuan pupuk dan bibit sulaman.
"Tapi harga tidak bisa naik maka warga tidak bisa menanam. Lalu kami nge-link ke beberapa pihak dengan ongkos pribadi. Lalu kami didampingi oleh pemerintah, untuk membuat mini pabrik PPTM nantinya jadi koperasi," ujarnya.
Petani teh di Kulon Progo sepakat untuk memilih koperasi karena bertujuan untuk meningkatkan ekonomi anggotanya. PT tidak dipilih karena akan menguntungkan beberapa pihak saja.
"Ini visi misi untuk meningkatkan anggotanya dan menyejahterakan anggotanya. Ini lebih tepat. Kami tidak PT karena yang diburu margin tinggi nanti yang kaya raya para investor padahal yang dibantu itu warga," katanya.
Tidak hanya berhenti di koperasi, ia pun mengadu ke Gubernur DIY sekaligus raja Kraton Yogyakarta Sultan HB X terkait permasalahan petani teh. Keberadaan perusahaan besar yang membeli harga rendah membuat petani sadar dan mulai usaha bersama untuk bangkit dari monopoli tersebut.
"Perusahaan itu beli Rp1.000, PPTM beli Rp2000, harga jual teh harus naik solusinya bikin mini pabrik. Setelah kunjungan HB X Desember 2014 kami ajukan saat monumental perdana teh," katanya.
Saat ini, peningkatan petani teh di Kulon Progo mulai terangkat. Dahulu, petani teh ekonominya masih di bawah sekitar 70%, saat ini tinggal 20%. Kehadiran PPTM yang dibentuk oleh petani teh sendiri benar dirasakan petani dan masyarakat sekitar.
"Dari 10 kg disanggrai jadi 2 kg kering. Kalo sesuai SOP maka mereka dapat 70 ribu minimal, ada yang 100 ribu. Maka buruh itu semangat. Mereka sehari bisa beli beras untuk sepuluh hari, dulu mereka sehari saja sekilo masih kurang," ujarnya.
Wisata Kebun Teh
Selain berkebun, petani teh di Bukit Menoreh Kulon Progo juga sadar dengan potensi wisata di Yogyakarta. Pihaknya menyiapkan beberapa paket wisata terutama bagi mereka yang riset di bidang teh.
"Paket edukasi dari luar negeri Rp500 ribu kalau lokal hanya Rp200 ribu. Biar pinternya warga negara kita sendiri," katanya.
Melihat banyak objek wisata di Yogyakarta yang berkembang dan mengandalkan kondisi alamnya menjadi perhatian petani teh. Pihaknya tidak ingin hanya mengandalkan pemandangan alam saja tanpa edukasi bagi para pengunjungnya.
"Kami masih kurang kalau pemandangan itu hanya booming sesaat, kampung ini akan kami jadikan untuk education yang berkalanjutan untuk riset. Kalau wisata ini kan hanya saat liburan tapi sampai hari biasa akan ramai karena riset. Kami bikin wisata yang berkesinambungan yang tidak booming sesaat," katanya.
Namun begitu, berbagai latar belakang wisatawan yang datang juga berimbas pada kondisi perkebunan. Banyak wisatawan yang tidak sadar akan lingkungan saat berwisata.
"Daun rusak karena diinjak dan pengelola tidak bertanggung jawab, ini sampah kami buang sendiri. Tempat sampah kami beli sendiri," katanya.
Sementara itu, wisatawan asing asal Jerman Luca dan Desi mengaku senang menikmati suasana dan teh asal Kulon Progo ini. Menurut Luca, teh yang ia rasakan berbeda dengan yang ia beli di tempatnya.
"Beda sekali sepertinya lebih kuat dan lebih fresh. Selain itu saya tidak pernah meminum teh dengan gula Jawa, ini menarik," katanya.
Desi mengaku hal yang sama, menikmati teh segar dari kebun memiliki cita rasa yang menarik. Sebab, di negaranya, ia tidak menjumpai kebun teh secara langsung. "Ini pertama kali bagi saya, di sana tidak ada teh. Fresh tea tidak pernah," katanya.
Advertisement