Liputan6.com, Palembang - Politikus Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono menilai keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dalam penetapan tarif angkutan penyeberangan, merupakan langkah mundur karena memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat usaha.
Menurutnya, kondisi ini diperparah dengan berlarut-larutnya penetapan tarif penyeberangan untuk kapal ferry, yang telah diusulkan Kementerian Perhubungan sejak akhir tahun lalu karena harus dikaji kembali oleh Kemenko Marves.
Advertisement
Baca Juga
Padahal, pembahasan tarif di Kemenhub sudah molor selama 1,5 tahun dan belum pernah naik sejak 3 tahun lalu. Sesuai regulasi, evaluasi tarif penyeberangan seharusnya dilakukan 6 bulan sekali.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini mengatakan, keterlibatan Kemenko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan, bertentangan dengan semangat Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
"Kemenko Marves justru menghambat kemudahan berusaha, karena birokrasi makin panjang dan bertele-tele, tidak sesuai dengan jargon Presiden Jokowi memangkas regulasi dan birokrasi," ujarnya, Kamis (23/1/2020).
Sejak era Orde Baru, lanjut Bambang, birokrasi evaluasi tarif telah dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No 82/1999, tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menteri Perhubungan.
"Orde Baru sekalipun menyadari tarif angkutan adalah masalah krusial karena menyangkut keselamatan penumpang dan logistik. Seharusnya pemerintahan Jokowi yang berorientasi maritim lebih sensitif dan responsif," katanya.
Bambang Haryo menilai Menko Luhut Binsar Pandjaitan terkesan tidak mengerti sektor transportasi dan maritim sehingga lamban merespons usulan tarif penyeberangan.
Menurutnya, dampak kenaikan tarif terhadap harga barang yang diangkut hanya 0,05 persen sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
"Kenaikan itu mungkin kecil bagi pemilik barang, tetapi besar artinya bagi angkutan penyeberangan untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.
Bambang Haryo mengungkapkan, evaluasi tarif penyeberangan sebenarnya bukan domain Menko Luhut, melainkan Menko Perekonomian.
Â
Desak Presiden Jokowi
Jika harus terlibat, dia menilai Menko sebaiknya hanya mengawasi dan membantu agar birokrasinya lancar, bukan justru menciptakan birokrasi baru.
Bambang khawatir angkutan penyeberangan berhenti operasi dalam waktu dekat, karena kesulitan membayar gaji karyawan dan kewajiban lain.
"Kalau penyeberangan kolaps dampaknya sangat luas, angkutan penumpang dan logistik terhenti sehingga ekonomi akan mandek," katanya.
Dia mendesak Presiden Joko Widodo agar memperhatikan masalah ini. Karena sudah molor cukup lama, sementara kondisi usaha penyeberangan nasional semakin kritis.
Presiden juga diminta menegur atau mengganti para pembantunya, yang tidak paham mengurusi sektor transportasi.
Selain terganjal birokrasi, Bambang melihat sektor pelayaran kini dibebani banyak regulasi baru yang menambah biaya hingga 100 persen.
"Itu belum termasuk kenaikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 1.000 persen," ungkapnya.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement