Liputan6.com, Garut - Bagi mayoritas masyarakat Garut, Jawa Barat, deretan nama berikut seperti Asep, Encep, Agus, Aceng, Ujang, Nyai, Ai, merupakan nama-nama yang tak asing di telinga masyarakat sejak lama.
Sebagai suku bangsa di Tanah Air, panggilan nama-nama di atas, memang menjadi ciri kas masyarakat Sunda, sebagai pembeda dengan nama lainnya dari suku lain di Indonesia.
Baca Juga
Budayawan Lokal Franz Limiart mengatakan, munculnya nama khas masyarakat Sunda, merupakan perkembangan dari panggilan kesayangan masyarakat saat itu bagi buah hati mereka.
Advertisement
"Asep itu panggilan orangtua bagi anak laki-laki, kalau untuk anak orang lain dipanggil Ujang," ujar dia dalam obrolan hangat dengan Liputan6.com, Kamis (27/8/2020).
Menurutnya, perkembangan nama seseorang di kalangan masyarakat Sunda, memang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat sekitar sejak lama.
"Ada juga karena faktor strata sosial, sehingga panggilan mereka kemudian digunakan menjadi nama anak," kata dia.
Franz kemudian mencontohkan nama Encep merupakan nama halus bagi anak laki-laki, yang diambil dari Asep, khusus diberikan untuk kalangan ningrat atau bangsawan.
"Kalau masyarakat biasa cukup Asep, atau Ujang bagi anak laki-laki orang lain," kata dia.
Hal yang sama berlaku bagi anak perempuan, panggilan Ai, Enok merupakan panggilan bagi masyarakat ningrat saat itu, hingga akhirnya digunakan sebagai nama anak perempuan di kemudian hari.
"Namun kini nama Enok sudah jarang digunakan seiring perkembangan zaman," ujar dia sedikit bercanda.
Khusus bagi pemangku agama, ada panggilan khusus yang biasa digunakan para kiai, ajengan, ustaz di kalangan masyarakat Sunda, untuk menyebut anak laki-laki mereka.
"Pokoknya asal anak kiai, ustaz, ajengan, terlebih punya pesantren atau lembaga pendidikan agama islam, biasanya dipanggil Aceng," kata dia.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, nama panggilan itu justru berkembang menjadi nama awalan bagi anak laki-laki dari sebuah keluarga.
"Kini bukan anak kiai pun namanya bisa menggunakan Aceng, silahkan saja," kata dia.
Bahkan, seiring perkembangan Islam di Indonesia, nama-nama di atas kemudian berkolaborasi dengan nama lain di belakanganya yang berasal dari bahasa Arab, misalnya Aceng Miftah, Aceng Fikri, dan lainnya.
"Acengnya merupakan panggilan Sunda, Miftah, Fikri kan bahasa Arab," ujar dia.
Simak Video Pilihan Berikut:
Kebanggan Nasional
Asep Jaelani, Wakil Ketua Paguyuban Asep Dunia mengatakan, sebagai nama depan yang lahir dari masyarakat sunda, nama–nama familiar seperti Asep, Agus, Ujang dan lainnya merupakan kebanggaan bagi negeri.
"Kalau kami memiliki lembaga Asep Dunia, kemudian Agus dan banyak lagi,” ujar dia.
Menurutnya, munculnya nama-nama khas masyarakat Sunda di belantika Tanah Air, diharapkan mampu memperkuat tali silaturahmi sesama masyarakat Sunda.
"Karena memang kami sebagai suku Sunda dan lainnya memiliki ciri khas yang saling menguatkan dengan suku lainnya di Indonesia," ujar dia bangga.
Dalam strata masyarakat Sunda, nama Asep merupakan nama kesayangan yang diberikan orangtua bagi anak laki-laki. "Kalau dulu tok panggilan, namun sekarang justru nama depan yang tercatat sebagai nama seseorang," ujar dia.
Bahkan kini, nama Asep tidak hanya menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat Sunda semata, tetapi masyarakat dan suku lainnya di Indonesia, mulai menggunakannya.
"Bahkan di Bojonegoro nama Asep malah dipakai perempuan, namanya Asep Purwani," ujar dia.
Kemudian di beberapa daerah lainnya nama Asep kemudian digabungkan dengan marga atau marga satu suku, seperti Asep Situmorang, Asep Sugiarto, meskipun tidak memiliki ikatan keturunan suku Sunda sama sekali.
"Dia bahkan tidak bisa bahasa sunda sama sekali, namun tetap bangga menggunakan nama Asep," ujar dia.
Namun meskipun demikian, Asep mengklaim jika nama Asep memiliki filosopi yang mendalam, sekaligus doa bagi anak laki-laki yang menyandang nama Asep.
"A itu artinya agama, S itu sosial atau berjiwa sosial, E itu ekonomi atau menjadi pemimpin dalam dunia usia dan P adalah Pendidikan," papar dia.
Advertisement
Pengaruh Kerajaan Mataram
Pamong Budaya Bidang Sejarah Dinas Pariwisata dan Budaya Garut Warjita mengatakan, penyebutan nama panggilan kesayangan yang berkembang di masyarakat, tidak lepas dari pola tatanan sosial yang dibentuk Kerajaan Mataram, sebagai penguasa kerajaan di pulau Jawa saat itu.
"Garut dan kerajaan di Jawa Barat itu salah satu bagian dari kekuasaan Mataram," kata dia.
Di bawah kekuasaan Sultan Agung saat itu, dibentuk tatanan sosial masyarakat sehingga memungkinkan adanya kasta yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
“Walaupun panggilan Asep dan Encep sama buat anak laki-laki, namun statusnya beda," kata dia.
Akibatnya, semakin tinggi status sosial di masyarakat, panggilan yang berlaku di masyarakat pun berbeda termasuk hingga menyangkut keturunan.
"Encep itu panggilan buat anak ningrat, sementara ujang panggilan buat anak rakat jelata, padahal keduanya sama panggilan buat anak laki-laki," kata dia.
Bahkan, panggilan bungsu yang merujuk pada anak paling bontot, belakangan justru menjadi nama Cucu atau Ucu, untuk menunjukan anak paling akhir dari sebuah keluarga.
Kini, seiring berjalannya waktu, panggilan kesayangan yang berkembang di tingkat strata sosial tempo dulu, akhirnya digunakan sebagai nama oleh masyarakat.
"Dan memang tidak ada larangan, sah-sah saja menjadi sebuah nama orang bagi generasi berikutnya," ungkap dia.