Liputan6.com, Pekanbaru - Keterlibatan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam polemik eksekusi lahan Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, mendapat sorotan dari ahli hukum tata negara Mexsasai Indra. Dia menyebut kekuasaan tidak bisa mengintervensi putusan pidana Mahkamah Agung (MA) terhadap PT PSJ.
"Penyelesaian di Gondai, Kabupaten Pelalawan, harus diselesaikan secara hukum, bukan oleh kekuasaan," kata dosen hukum tata negara disapa Mex ini, Senin malam, 12 April 2021.
Advertisement
Baca Juga
Mex menjelaskan, Indonesia merupakan negara hukum dan mengenal sistem pembagian kekuasaan dengan tujuan dapat dikontrol dan diawasi. Kehakiman berperan sebagai pengawasan melalui badan peradilan.
Peradilan merupakan sarana terakhir mencari keadilan melalui proses pembuktian di persidangan. Selanjutnya diakhiri dengan putusan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk kekuasaan lainnya.
"Sehingga kekuasaan eksekutif dan legislatif yang memiliki tupoksi berbeda tidak dapat mengintervensi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap karena itu merupakan kekuasaan yudikatif yang merdeka dan independent, di dalam UUD 1945 dinyatakan secara tegas," terang Mex.
Mex menjelaskan, adanya surat KSP melalui Deputi II terkait eksekusi lahan Desa Gondai, apalagi terhadap putusan berkekuatan hukum tetap, berpotensi terjadi contempt of court atau mal administrasi.
"Mal administrasi dalam konsep hukum administrasi negara, apalagi berdasarkan pemberitaan yang saya dapatkan surat tersebut hanya ditandatangani oleh Deputi II KSP, namun isi surat tersebut berisikan perintah pada Kapolri dan Panglima TNI," jelas Mex.
Surat KSP itu meminta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri untuk melindungi petani sawit terkait eksekusi lahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan. Dia meminta masyarakat tidak dikriminalisasi.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Sebaiknya Verifikasi
Dalam surat bernomor B-21/KSK/03/2021 tertanggal 12 Maret 2021 itu, KSP menyebut persoalan di Desa Gondai tengah ditangani pihaknya bersama KLHK dan lembaga terkait. KSP meminta aparat menjaga kondusivitas hingga persoalan ini diselesaikan.
Mex mengatakan, perintah dalam konsep hukum administrasi negara adalah hubungan antara atasan dengan bawahan. Maka secara teori, Deputi II tidak bisa memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI terkait
"Kok bisa Deputi II KSP memerintahkan Kapolri dan Panglima yang merupakan pejabat tertinggi di masing-masing kesatuan, ini sama saja menghilangkan marwah institusi Polri dan TNI," jelas Mex.
Menurut hemat Mex, KSP tidak bisa langsung potong jalur karena idealnya peroalan tersebut dilaporkan ke Presiden sehingga policy-nya ada pada Presiden.
Sebagai ahli, Mex tidak yakin surat itu merupakan keputusan Kepala KSP. Dia yakin Jenderal (purn) Moeldoko sebagai orang yang juga lama di TNI dan pernah menjadi Panglima sudah khatam dengan hal tersebut.
"Termasuk Presiden saya juga tidak yakin presiden mengetahui hal ini, dan berani mengintervensi putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap," sebut Mex.
Sebagai seorang akademisi, Mex berpandangan agar KSP lebih bijak dan objektif dalam mengambil tindakan administrasi. Pasalnya, persoalan ini sudah melalui proses peradilan yang panjang.
Mex berharap KSP harus mencermati adanya putusan pidana kemudian melakukan verifikasi. Apakah benar petani sawit atau masyarakat yang dimaksud adalah tempatan dan orang luar Desa Gondai yang dijadikan tameng.
"Tameng oleh pemodal yang bukan masyarakat asli Desa Gondai, karena saya baca di media bahwa yang menguasai lahan kawasan hutan di Desa Gondai bukanlah masyarakat asli Gondai," terang Mex.
Advertisement
TUN Tidak Batalkan Putusan Pidana
Jangan sampai niat baik di KSP, tambah Mex, justru menghilangkan kewibawaan dari badan peradilan yang notabene merupakan benteng terakhir dalam menyelesaikan persoalan hukum.
Berdasarkan pengamatan dan informasi yang diterimanya, Mex menyebut perkara di Desa Gondai titik pangkalnya bukan pada sengketa alas hak, dalam hal ini bukanlah HGU. Namun, terpidana PT PSJ diputuskan hakim melakukan perkebunan menanam sawit dalam kawasan hutan.
"Bukan hak privat to privat tapi kewenangan negara mengawasi kawasan hutan yang penguasaannya baru legal ketika ada instrument perizinan, jika tidak maka perbuatan tersebut merupakan delik/tindak pidana," terang Mex.
Terkait ada putusan MA dalam hal tata usaha negara (TUN), Mex menyatakan tidak memberi pengaruh kepada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Pasalnya, putusan MA soal TUN itu mengenai surat perintah tugas DLHK yang turun mengamankan proses pemulihan kawasan hutan.
"Bukan membatalkan putusan pidana atau membatalkan ekseskusi, apalagi putusan pidana ini tidak ada upaya hukum lain sehingga harus di eksekusi dan kawasan hutan harus dipulihkan," terang Mex.