PDIP Sumsel Soroti Perhutanan Sosial yang Kurang Optimal

Forum Group Discussion (FGD), bertema ‘Menjawab Tantangan dan Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumsel, digelar di Kantor DPD PDI Perjuangan Sumsel.

oleh Nefri Inge diperbarui 12 Sep 2021, 22:30 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2021, 22:30 WIB
PDIP Sumsel Soroti Perhutanan Sosial yang Kurang Optimal
Forum Group Discussion (FGD), bertema ‘Menjawab Tantangan dan Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumsel, di Kantor DPD PDI Perjuangan Sumsel (Dok. Humas PDI Perjuangan Sumsel / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Program Perhutanan Sosial yang dikebut pemerintah sejak 2014, memberikan angin segar bagi konflik agraria yang sejak puluhan tahun. Yang turut merugikan masyarakat, dari sebagai pihak minor.

Masyarakat mulai bisa memiliki dan menggarap lahan di kawasan hutan, dengan mengantongi SK Perhutanan Sosial sesuai dengan fungsinya.

Hal tersebut dibahas di Forum Group Discussion (FGD), bertema ‘Menjawab Tantangan dan Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumsel, di Kantor DPD PDIP Sumsel, Sabtu (11/9/2021).

Ketua DPD PDIP Sumsel Giri Ramanda N Kiemas mengatakan, setelah bergulir selama tujuh tahun, program PS masih kurang optimal.

Terutama minimnya dorongan politis, di sektor legislasi dan pengawasan para anggota DPRD dan juga peran serta pemerintah daerah.

Menurutnya, PDI Perjuangan DPD Sumsel mencoba mengakselerasi salah satu program yang sangat mewakili Nawacita. Yang juga digaungkan Presiden RI Joko Widodo, lewat program Perhutanan Sosial.

“Prinsip Perhutanan Sosial adalah berkeadilan, berkelanjutan, memiliki kepastian hukum, dan partisipatif untuk masyarakat,” ucapnya, Minggu (12/9/2021).

Dia mengatakan, Perhutanan Sosial menjadi salah satu program prioritas nasional di masa Presiden Joko Widodo. Karena didesain sebagai akses legal masyarakat, yang mengelola lahan di sekitar kawasan hutan.

Giri Ramanda menuturkan, Perhutanan Sosialmerupakan salah satu upaya redistribusi lahan kepada masyarakat, secara legal.

“Daripada dianggap merambah kawasan hutan yang berstatus milik negara, lebih baik dilegalkan. Karena kegiatan masyarakat itu, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan perekonomian keluarga,” katanya.

Diungkapkannya, Perhutanan Sosial saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan. Seperti layanan layanan birokrasi dalam penunjang.

Baik dari segi pengetahuan dan pendampingan, yang belum maksimal dari negara. Karena ini, pendampingan justru lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang tidak berkewajiban melakukan hal tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Anggaran Perhutanan Sosial

PDI Perjuangan Sumsel Soroti Perhutanan Sosial yang Kurang Optimal
Forum Group Discussion (FGD), bertema ‘Menjawab Tantangan dan Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumsel, di Kantor DPD PDI Perjuangan Sumsel (Dok. Humas PDI Perjuangan Sumsel / Nefri Inge)

Selain itu, problem administrasi atau persyaratan pengajuan usulan PS yang perlu disederhanakan. Semua usulan perijinan PS saat ini, lanjut Giri, masih dibebankan kepada masyarakat.

“Kebijakan anggaran untuk perhutanan sosial masih sangat minim. Pemerintah daerah dan provinsi masih kurang mengakomodir masyarakat, karena setelah izin keluar dari presiden,” ucapnya.

Giri melanjutkan permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mengelola lahan itu agar bermanfaat.

Juga dukungan politik dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten belum maksimal. Ruang lingkup PS, masih dipandang hanya di dinas kehutanan. Padahal ini tugas lintas instansi.

Direktur Program dan Jaringan Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana menuturkan, kurangnya dukungan politik untuk PS.

 

Izin Perhutanan Sosial

Perjuangan Warga Dusun Cawang Mura Dapatkan Haknya Melalui Skema Perhutanan Sosial
PT MHP saat menggusur lahan pertanian warga Dusun Cawang Gumilir Musi Rawas Sumsel di tahun 2016 (Dok. Humas Walhi Sumsel / Nefri Inge)

Sejak 2017. HaKI telah menjadi pendamping PS di 11 kabupaten di Sumsel.HaKI melakukan pendampingan, untuk 98 izin perhutanan sosial dengan total area 38 ribu hektare.

Beberapa tantangan dalam perhutanan sosial, lanjut Dedi, yang masih perlu dimaksimalkan yakni lemahnya institusi lokal pemerintah. Terutama untuk menjalankan gagasan atau konsep, yang direncakan oleh pemerintah pusat.

“Masyarakat setelah mendapatkan SK perhutanan sosial, bukan berarti dilepas begitu saja. Namun harus ada pendampingan, sehingga program perhutanan sosial ini tepat sasaran dan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat,” ungkapnya.

Upaya koordinasi dan peningkatan kerjasama antarinstansi, menurut Dedi, harus dilakukan lebih intensif.

Menurut Dedi, selain itu pemerintah, dunia usaha, partai politik serta LSM harus berbagi peran secara proporsional. Terlebih dalam menghadapi tantangan, yang dirasakan oleh masyarakat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya