Liputan6.com, Kebumen - Jejak perjuangan petani pemilik tanah di Urut Sewu berserak di ruang-ruang digital. Kisah perlawanan petani tersiar mulai dari Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren hingga Wiromartan di Kecamatan Mirit. Kisah tentang bagaimana darah tertumpah akibat pukulan popor senapan hingga lentingan timah panas yang tiap butirnya terbeli dari uang rakyat.
Memahami konflik agraria di Urut Sewu akan lebih mudah jika mengenal sejarah tanah di pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah ini. Dari buku saku yang diterbitkan Tim Advokasi Petani Urut Sewu Kebumen (Tapuk), penataan tanah di Urut Sewu dimulai sejak tahun 1830 pada masa kepemimpinan Bupati Ambal, R Poerbonegoro.
Poerbonegoro membagi tanah di pesisir selatan menggunakan sistem galur larak. Galur larak berarti membagi tanah membujur dari batas desa di utara hingga ke laut di selatan. Sistem galur larak masih berlaku hingga hari ini.
Advertisement
Pada 1920, terjadi penggabungan desa-desa di Urut Sewu yang dikenal dengan blengketan desa. Sebanyak dua hingga empat desa digabungkan menjadi satu. Hasil blengketan desa ini pun masih berlaku hingga saat ini.
Dua tahun kemudian, tanah di desa-desa hasil blengketan ini mulai dipetakan dan diadministrasikan atau dikenal dengan istilah klangsiran. Proses ini mencakup pencatatan tanah milik perorangan, tanah bengkok, dan banda desa sekaligus penggabungan tanah bengkok desa menjadi satu lokasi dengan cara tukar guling.
Advertisement
Baca Juga
Pada periode ini, batas sebelah selatan tanah perorangan maupun milik desa adalah laut atau banyu asin. Proses klangsiran tanah dilakukan petugas bernama mantri klangsir dengan melibatkan pemilik tanah.
Klangsiran menghasilkan kelas tanah yang dikategorikan dengan kode DI, DII, DIII, DIV, dan DV. Klasifikasi tanah ini untuk menentukan besaran pajak yang harus dibayar para pemilik tanah. Tanah yang telah diverifikasi melalui proses klangsiran kemudian dipatok menggunakan pal atau patok tanah yang dikenal sebagai pal budheg.
Pal budheg di tiap desa memiliki kode yang berbeda. Sebagai contoh pal budheg dengan kode Q222 berada di Desa Setrojenar, Q216 di Desa Entak, dan Q215 di Desa Kaibon. Pal atau patok batas tanah yang dikenal dengan pal budheg hingga hari ini masih ada.
Tanah di luar patok ini kemudian diklaim pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang menyebutnya sebagai tanah kompeni. Tanah kompeni membentang sepanjang garis pantai dengan lebar antara 150-200 meter dari garis pantai.
Klaim tanah kompeni ini mendapat penolakan warga. Sebagai bentuk perlawanan, warga tetap memanfaatkan tanah yang diklaim dengan membuat tambak garam dan membuat jaringan pemasaran sendiri. Tak sampai di situ, beberapa kelompok warga juga melawan dengan aksi perusakan gudang garam milik Belanda di Urut Sewu.
Tahun 1937, tentara Belanda mulai menggunakan tanah pesisir sebagai medan latihan militer. Pemanfaatan Urut Sewu sebagai tempat latihan militer berlanjut para era pendudukan Jepang tahun 1942. Ivasi Jepang berakhir setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945.
Setelah pemerintahan terbentuk, penataan tanah kembali dilakukan. Tonggak sejarah penataan tanah dimulai dari lahirnya UU Pokok Agaria (UU PA) tahun 1960.
Pasca-pengesahan UU Pokok Agraria, pemerintah membuka pendaftaran tanah secara massal, tak terkecuali di Urut Sewu. Hal ini dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah milik warga dan surat jual beli tanah yang ditanda tangani asisten wedono dan kepala desa dengan batas selatan laut.
Namun proses pendaftaran tanah terhenti dengan peristiwa G30S PKI. Sejak peristiwa ini, masyarakat takut mengakui kepemilkan sertifikat tanah karena dituduh sebagai anggota PKI. Masyarakat juga takut mendaftarkan tanahnya.Tahun 1982, TNI AD mengajukan surat permohonan pinjam tempat latihan kepada kepala desa. Pengajuan permohonan izin menunjukkan tentara masih mengakui kepemilikan warga atas tanah Urut Sewu.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Huru-Hara di Setrojenar
Belakangan TNI AD tidak mengajukan surat permohonan izin ketika hendak berlatih. TNI AD hanya melayangkan surat pemberitahuan. Hingga pada periode 1998 TNI menandatangani kontrak kerja sama pinjam tempat latihan dengan Pemkab Kebumen.
Pada tahun yang sama TNI AD mengklaim tanah Urut Sewu dengan panjang 22,5 kilometer dan lebar rata-rata 500 meter dari garis pantai. TNI berdalih tanah ini milik pemerintah kolonial Belanda yang kemudian beralih menjadi tanah negara.
Pada tahun 2007, klaim berubah menjadi selebar 1.000 meter dari pantai hingga jalan lintas selatan selatan (JLSS). Klaim ini diajukan saat pembebasan tanah untuk pembangunan JLSS berlangsung. Namun karena warga menolak klaim ini, TNI AD kembali pada klaim awal selebar 500 meter dari pantai.
Pada tahun 2020, TNI kembali mengajukan klaim baru berdasarkan peta minute buatan penjajah Belanda. Berdasarkan peta ini, TNI AD mengklaim tanah negara atau government ground (GG) I dan II.
GG I merupakan tanah selebar 500 meter dari pantai dan panjang 22,5 Km dari muar Sungai Lukulo di Buluspesantren hingga muara Sungai Wawar di Kecamatan Mirit. Sementara GG II merupakan tanah makam yang memanjang melintasi tiga kecamatan, yaitu Buluspesantren, Ambal, dan Mirit.
Klaim tanah di Urut Sewu dari waktu ke waktu ini mendapat penolakan petani. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan ruang hidup bersama, mulai dari cara diplomasi hingga konfrontasi di lapangan. Tiap perjuangan menyisakan kisah yang unik sebagai pembelajaran untuk generasi yang akan datang.
Geger di Setrojenar
Angin bertiup kencang di Pantai Setrojenar. Di tepian pantai, warung-warung berjejer menjajakan pecel dan kudapan khas dari kekayaan laut selatan. Wisata kuliner makin sempurna dengan sajian kelapa muda yang dipetik dari pohon yang tumbuh di hamparan tanah Urut Sewu.
Namun Setrojenar bukan sekadar kenangan tentang pantai dan semilir anginnya atau lezatnya hidangan laut dan segarnya air kelapa muda. Mengingat Setrojenar juga mengingat konflik berdarah sekitar satu dekade yang lalu. Ketika itu konflik warga dengan TNI AD pecah.
Konflik bermula usai warga menziarahi makam lima anak korban ledakan mortir sisa latihan menembak TNI AD yang terjadi tahun 1997. Sejak upaya perampasan tanah Urut Sewu bergulir, ziarah korban ledakan mortir menjadi ritual yang hampir tiap tahun digelar.
Selain untuk mengokohkan semangat melalui pendekatan spiritual, momen ini juga untuk menguatkan pemahaman sejarah Urut Sewu melalui telaah asal-muasal tanah yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Suasana Desa Setrojenar pada Sabtu pagi (16/4/2011) mendadak memanas ketika para peziarah mendengar kabar spanduk penolakan warga terhadap upaya pemagaran dilucuti tentara. Hari itu, prajurit dari Dislitbang memang melepas spanduk yang berjejer di sepanjang jalan. Warga yang tersulut emosi atas tindakan tentara kemudian membalas dengan merobohkan gapura "Lapangan Uji Tembak TNI AD".
Usai merobohkan gapura, warga bergerak ke selatan menuju bekas gudang senjata, bangunan tiga lantai yang dibangun TNI AD di atas tanah bersertifikat hak milik warga. Warga nyaris merobohkan bangunan ini jika tidak dicegah aparat kepolisian.
Perobohan gapura dan perusakan bangunan tiga lantai itu bukan tanpa alasan. Gapura menjadi simbol klaim sepihak TNI AD atas tanah di Urut Sewu. Berdasarkan sertifikat dan letter c desa, tanah yang diklaim sebagai lapangan tembak ini merupakan tanah warga yang digunakan untuk kepentingan penggembalaan komunal.
"Kalau bangunan bertingkat mau dirobohkan karena berdiri di tanah warga yang bersertifikat hak milik," kata Solehan, warga Desa Setrojenar yang turut serta pada peristiwa itu.
Setelah batal merobohkan bangunan tiga lantai itu, rombongan warga bergerak kembali ke permukiman ke arah utara. Namun di persimpangan jalan sebelum Kantor Dislitbang TNI AD, tentara bersenjata laras panjang mengadang.
Warga terus maju karena berpikir tentara tidak akan melukai rakyat. Namun kenyataannya berbeda. Warga menjadi sasaran penganiayaan. Sebagian terluka karena mendapat pukulan popor senjata. Sebagaian yang lain bahkan mengalami luka tembak peluru tajam.
Sedikitnya ada empat orang yang mengalami luka tembak. Mereka antara lain Ngatijo, Surip, Wadi dan Mulyanto. Surip merupakan Kepala Desa Setrojenar. Ia tertembak pada bagian pantat.
Sementara Mulyanto tertembak di punggung dan nyaris mengenai jantung. Usai dipopor, Mulyanto bangkit dan berlari sekuat tenaga ke arah timur menuju Desa Brecong. Saat berlari ia tak sadar telah tertembak. Ia baru sadar setelah sampai di Brecong.
"Aku ngene iki (mengusap punggung), getih kabeh, dadi ora rumangsa ketembak (saya begini, darah semua, jadi tidak merasa tertembak)" ujar Mulyanto mengenang tragedi yang nyaris merenggut nyawanya.
Ia selamat setelah mendapat perawatan medis. Peluru yang bersarang di tubuhnya berhasil diangkat. Hingga saat ini, bekas luka tembak itu masih membekas di punggung Mulyanto.
Usai peristiwa ini, empat orang warga ditangkap polisi. Mereka antara lain Solekhan, Mulyono, Adi Waluyo dan Sobirin. Mereka menjalani proses hukum hingga akhirnya divonis enam bulan penjara.
Dikutip dari direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, majelis hakim Pengadilan Negeri Kebumen memutuskan empat orang ini terbukti melakukan tindak pidana “secara terang-terangan dengan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap barang”.
Atas putusan ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Jaksa keberatan dengan putusan hakim PN Kebumen yang menjatuhkan vonis enam bulan penjara. Melalui banding ini, jaksa mengajukan penambahan hukuman menjadi satu tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan jaksa.
Majelis hakim tingkat banding memutuskan memperbaiki putusan PN Kebumen, antara lain menjatuhkan pidana terhadap keempat terdakwa dengan pidana penjara masing-masing 5 bulan 28 hari dan segera mengeluarkan mereka dari rutan.
Pengorbanan warga Setrojenar tak sia-sia. Mereka berhasil mempertahankan tanahnya. Hingga hari ini, Setrojenar menjadi satu-satunya desa yang tidak dipagar TNI. Sertifikat hak pakai atas nama TNI AD untuk tanah di pesisir Setrojenar juga tidak terbit seperti yang terjadi di desa lain.
“Menurut saya kematian suatu saat akan terjadi, tidak sekarang besok juga akan mati. Lebih baik saya mati berjuang untuk kepentingan rakyat, kepentingan kebenaran ini daripada saya mati menjadi pengkhianat. Itu prinsip kami dalam berjuang,” kata Paryanto, tokoh pergerakan Desa Setrojenar.
Advertisement
Nota Protes dari Kaibon Petangkuran
Turiyo bertutur dengan berapi-api saat kami mewawancarainya malam itu. Perangkat Desa Kaibon Petangkuran itu masih mengingat jelas kronologi pengukuran tanah tim Kanwil BPN Jawa Tengah yang didampingi tentara awal tahun 2020 yang lalu.
Pengukuran berlangsung hari Senin. Ia mengingat hari pengukuran itu dari pakaian dinas keki yang ia pakai tiap hari Senin. Pukul 08.30 WIB ia tiba di kantor desa. Ia dan dua perangkat desa yang lain, Senimin dan Sono, mendapat perintah dari kepala desa untuk menyaksikan proses pengukuran.
“Pak Lurah bilang ke saya, ‘Pak Cungkuk ini ada SMS dari Koramil, saya disuruh memerintahkan perangkat untuk menyaksikan pemasangan patok yang diklaim sebagai GG II’,” kata Turiyo mengulang perintah atasannya saat ditemui di Kebumen 5 Mei 2021 yang lalu.
GG II merupakan tanah makam yang memanjang dari Bulus Pesantren hingga Mirit. Tanah ini diklaim sebagai tanah negara oleh TNI AD sebagaimana terdapat di peta minute.
Mendapat perintah mendadak ini, firasatnya berkata ada yang tidak beres. Namun atas nama profesionalisme, ia tetap menjalankan perintah kepala desa. Bersama Senimin, ia berangkat ke sisi utara makam. Pengukuran dimulai dari arah barat, dari batas Desa Ambal Resmi dengan Desa Entak.
Di lokasi telah berkumpul sekelompok orang berpakaian loreng dan ada pula yang berompi. Turiyo menghitung ada sekitar 20 orang yang sebagian besar tentara. Sedikit banyak, ia merasa terintimidasi dengan kehadiran tentara ini.
“Jadi kaya dikeroyok,” ujar dia menggambarkan perasaannya ketika itu.
Proses pematokan menggunakan perangkat digital yang disesuaikan dengan peta minut, peta buatan pemerintah kolonial Belanda yang menjadi dasar klaim tanah Urut Sewu oleh TNI AD. Turiyo diminta menyaksikan kesesuaian titik koordinat pada layar gawai dengan titik pematokan.
Jika pada layar menyala hijau, maka artinya titik itu sudah sesuai dengan garis batas pada peta minut. Petugas TNI AD yang menyertai kemudian menacapkan patok dari belahan bambu di titik itu. Pematokan berjalan terus setiap 100 meter hingga ke batas desa sebelah timur, yaitu Desa Kaibon.
Setelah pematokan selesai, ia diminta menandatangani sebuah blanko berlogo BPN. Ia dan dua orang lain diminta tanda tangan sebagai saksi pengukuran.
“Tadinya saya mau kabur, tapi 'Pak..pak.. tunggu dulu, tunggu dulu'. Ditahan,” tuturnya menirukan ucapan petugas TNI AD yang memintanya tetap tinggal.
Beberapa hari kemudian, petugas BPN dan anggota TNI AD datang ke Balai Desa Kaibon Petangkuran untuk mensosialisasikan hasil pengukuran. Namun warga dan pemerintah desa menolak hasil pengukuran ini yang kelak digunakan dasar penerbitan sertifikat hak pakai TNI AD.
Penolakan dilakukan dengan melayangkan surat ke BPN Kebumen. Surat penolakan ini ditandatangi warga. Setiap KK mewakilkan satu orang untuk menandatangani surat ini.
Warga menolak tanah makam yang digunakan untuk memakamkan leluhur mereka diklaim sebagai tanah negara. Warga Kaibon Petangkuran siap mempertahankan setiap jengkal tanah mereka.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) TNI, Jenderal Andika, sempat menyinggung tanah GG II alias pemakaman pada acara penyerahan dua setifikat bidang tanah di Makorem 072/Pamungkas Yogyakarta. Pada kesempatan ini, Andika menawarkan kepada Bupati Kebumen agar menukar tanah GG II dengan tanah pemilikan yang terimpit di antara GG I dan GG II.
“Jadi pak Bupati, titipan saya, kami tidak perlu misalnya sesuai dengan tadi, sesuai dengan dokumen yang sejak dulu, minute tadi. Kami terbuka misalnya, ada fleksibilitas lah. Karena mungkin kepemilikan tanah di antara GG I dan GG II itu ada yang memiliki, mungkin bagi mereka lebih baik tidak dipisahkan,” kata dia saat menyampaikan sambutan.
Robohnya Benteng Pertahanan Mirit Petikusan
Mirit Petikusan adalah potret kegigihan dalam mempertahankan tanah. Meski tak ada aksi heroik, namun perlawanan petani menyuguhkan kisah yang dramatik.
Di Mirit PetikusanPerlawanan tak hanya berangkat dari petani, namun juga para perangkat desa. Mereka bersiasat agar klaim tanah petani tidak semudah membalik mendoan Sempor yang fenomenal.
Pada awal 2020, pada era pendaftaran tanah oleh TNI AD berlangsung, tanah yang masuk dalam klaim GG I dan GG II di sepanjang Urut Sewu diukur dan dipatok. TNI AD melalui jajaran Koramil memastikan proses pengukuran di lapangan berjalan mulus.
Suatu hari, prajurit dari Koramil Mirit datang ke Balai Desa Mirit Petikusan. Mereka meminta kepala desa mengutus perangkatnya untuk menyaksikan proses pengukuran.
Meski tanpa selembar suratpun, kepala desa menuruti permintaan mereka. Diutuslah Mohammad Muslikhudin Abadi, carik Mirit Petikusan, untuk menyaksikan proses pengukuran. Selain Muslikh, perangkat desa juga menghubungi Manijo, Ketua RT wilayah setempat.
“Jadi tidak pemberitahuan, kami langsung diminta mendampingi di lapangan,” kata Muslikh, ketika wawancara di rumahnya, awal Mei 2021 yang lalu.
Berangkatlah mereka ke lokasi pengukuran. Pengukuran dimulai dari batas desa sebelah barat, yaitu antara Desa Sumberjati dengan Mirit Petikusan ke perbatasan desa sebelah timur dengan Desa Tlogodepok.
Ada tiga tim pengukuran yang turun ke lapangan. Masing-masing terdiri dari personel TNI AD dan petugas pengukuran BPN.
Dua tim mengukur di batas utara dan selatan makam yang diklaim sebagai GG II. Satu tim lagi mengukur batas tanah di gundukan pasir yang diklaim sebagai GG I. Muslikh mendampingi tim pengukuran di pasir sementara Manijo di selatan makam.
Meski menjalankan perintah menjadi saksi pengukuran, namun Muslikh sejatinya menolak. Ia meninggalkan proses pengukuran saat tengah hari. Iapun tidak menandatangani dokumen sebagaimana yang dilakukan perangkat Desa Kaibon Petangkuran.
Begitu juga dengan Manijo. Ia pun meninggalkan proses pengukuran sebelum selesai dan tidak menandatangani dokumen apapun dengan alasan sudah masuk waktu salat zuhur.
Manijo sendiri keberatan jika tanah pangonan atau brasengojo dan makam diklaim TNI AD. Tanah brasengojo merupakan tanah milik bersama yang dibiarkan tidak digarap. Tanah ini dibiarkan ditumbuhi rerumputan untuk menggembala (angon) warga yang banyak beternak sapi dan kambing.
Sementara tanah makam merupakan tempat peristirahatan terakhir leluhur warga Urut Sewu, sehingga tak sepantasnya diklaim. Pada masa lalu, baik tanah brasengaja maupun makam memang tidak dikenai pajak hasil bumi karena memang tidak dibudidayakan dan menghasilkan hasil bumi. Namun ini justru dimanfaatkan sebagai celah untuk mengklaim tanah itu sebagai tanah negara atau government ground (GG).
Ia menghargai TNI sebagai pelindung masyarakat dan bentengnya negara. Tapi ia tidak setuju jika TNI mengklaim tanah di Urut Sewu. Ia berharap tanah itu tetap menjadi tanah desa.
Beberapa hari setelah pengukuran, BPN meminta desa mengumpulkan warga untuk mengikuti sosialisasi hasil pengukuran. Desa pun mengundang tokoh masyarakat dan para petani pemilik tanah.
Sosialisasi berlangsung panas karena warga menolak klaim tanah yang hendak dilegalkan melalui sertifikat. Namun keberatan warga seolah diabaikan. Terbukti proses pendaftaran tanah terus berjalan.
Kunci penentu kemudian berada di tangan kepala desa. Jika kepala desa menandatangani berita acara sosialisasi hasil pengukuran, maka penerbitan sertifikat hanya soal waktu.
“Pak lurah waktu itu juga belum mau tanda tangan, saya juga terus teman-teman,” kata Muslikh
Usai sosialisasi, kepala desa tiba-tiba menghilang. Pejabat dari Kecamatan Mirit yang hadir sempat menunggu di ruangan kepala desa, namun yang ditunggu tak kunjung masuk. Maka berita acara dan daftar hadir sosialisasi inipun tak mendapat tanda tangan kepala desa. Menurut Muslikh, ketika itu kepala desa pergi salat ke musala.
Karena mengelak menandatangani berita acara, kepala desa terus menerus mendapat tekanan dari camat. Beberapa kali kepala desa, BPD dan perangkat desa dipanggil ke kecamatan bahkan Pemkab Kebumen untuk menandatangi dokumen itu.
Tekanan yang bertubi-tubi ini membuat kepala desa tak berkutik. Ia akhirnya tanda tangan. Dan karena itu, proses sertifikasi semakin dekat dengan tahap akhir.
“Kalau Mirit Petikusan bagi mereka sudah 85 persen disertifikat (hak milik TNI AD-red),” ucapnya.
Tembok pertahanan Mirit Petikusan mungkin telah runtuh. Namun mereka telah melawan dengan sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.
Advertisement
Komentar Kasad Andika Perkasa Soal Urut Sewu
Untuk mendapat keterangan lebih lengkap, kami juga mengonfirmasi Kodam IV/Diponegoro. Namun, upaya kami menghubungi melalui sambungan telepon dan surat permohonan wawancara tidak mendapat respons.
Kami kemudian kembali bersurat ke Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Kodim 0709/Kebumen. Dari sekian surat yang kami ajukan, hanya Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Tatang Subarna, yang memberikan respons. Ia menyarankan agar menghadiri acara KSAD di Kebumen pada 4 September 2021 lalu.
Malam sebelum acara kami telah tiba di Kebumen. Namun pada tengah malam Brigjen Tatang mengabarkan acara digeser ke Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta. Kami pun bergegas menuju ke Yogyakarta pada pagi harinya.
Setibanya di Korem 072/Pamungkas, acara serah terima sertifikat hak pakai TNI AD tengah berlangsung. Satu di antara sertifikat yang diserahterimakan ialah sertifikat bidang tanah di Urut Sewu, Kebumen.
Ada tambahan dua bidang tanah di dua desa yang kembali disertifikatkan sebagai hak pakai TNI AD. Dua bidang tanah itu tersebar di dua desa, yaitu Desa Lembupurwo Kecamatan Mirit dan Desa Entak Kecamatan Ambal.
Tambahan dua ini menyusul dua sertifikat di Desa Brecong Kecamatan Buluspesantren dan Desa/Kecamatan Mirit. Jika dijumlah, maka total ada sembilan bidang tanah di sembilandesa yang telah bersertifikat hak pakai TNI AD seluas 464,3 Ha.
Sementara sisa enam bidang tanah di enam desa lainnya kini dalam proses komunikasi dengan warga. Proses sertifikasi satu dari enam desa ini bahkan hampir mencapai 100 persen.
"Memang ada yang sedang kita proses, tetapi seperti yang saya sampaikan tadi bahwa jangan sampai ada tekanan kepada siapa pun," kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jendral Andika Perkasa, pada sesi wawancara usai acara serah terima sertifikat tanah.
Pada pidato sambutannya, Andika menyatakan tidak akan mengambil tindakan apapun pada lahan yang belum bersertifikat hak pakai TNI AD. Ia menegaskan TNI AD dari tingkat pusat hingga jajaran di lapangan tidak akan menyentuh, apalagi mengelola tanah yang bukan menjadi haknya secara legal.
"Kami patuh hukum dan semua jajaran kami di bawah juga demikian, jadi tidak ada lagi, Pak Arif, seperti yang terjadi waktu itu di lapangan karena kami ke bawah, Pangdam, Danrem, Dandim, semua akan memegang itu," ujar Andika kepada Bupati Kebumen, Arif Sugiyanto, yang turut hadir pada acara itu.
Terkait protes warga atas proses pendaftaran tanah untuk TNI, ia menyerahkan pada mekanisme hukum. Andika mempersilakan warga yang keberatan dengan penerbitan sertifikat hak pakai TNI AD untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
"Mereka juga punya hak, setiap warga negara, untuk misalnya, membawa tuntutan ke ranah hukum. Kami terbuka karena itu mekanisme yang paling fair-lah di Indonesia," ucapnya.
Bagian terakhir dari 3 tulisan mengenai konflik tanah di Urut Sewu, Kebumen. Laporan ini merupakan hasil kolaborasi dengan sejumlah jurnalis, antara lain Jamal Abdun Nashr (Tempo), Irwan Syambudi (Tirto.id), Anindya Putri Kartika (KBR), dan Stanislas Cossy (Serat.id).
Kolaborasi liputan ini merupakan bagian dari program AJI Yogyakarta yang tergabung dalam konsorsium bersama Walhi Yogyakarta dan LBH Yogyakarta dengan tema "Building Citizen Awarness on the Growing Agrarian Conflict in Yogyakarta and Its Adjacent Region". Program ini didukung oleh Open Society Foundation melalui Yayasan Kurawal.