Mengenal Tradisi Peninggalan Para Wali Bernuansa Ramadan di Demak

Arwah jama' ini biasanya dilakukan beberapa hari menjelang Ramadhan. Diyakini tradisi ini adalah peninggalan salah satu walisongo, Sunan Kalijaga.

oleh Kusfitria Marstyasih diperbarui 03 Apr 2022, 02:35 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2022, 02:35 WIB
Seniman Demak tengah mengelilingi gunungan apem saat Umbul Donga Ruwahan. (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)
Seniman Demak tengah mengelilingi gunungan apem saat Umbul Donga Ruwahan. (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)

Liputan6.com, Demak - Menjelang Ramadan, berbagai tradisi digelar untuk mengungkapkan suka cita maupun rasa syukur menyambut bulan penuh berkah bagi umat Islam.

Tak terkecuali, masyarakat Kabupaten Demak yang memiliki berbagai tradisi khas dan dilakoni jauh-jauh hari sebelum terbitnya matahari pada tanggal 1 bulan Ramadhan.

Dalam kalender Hijriyah sebelum bulan Ramadan, ada bulan Sya'ban. Namun orang Jawa lebih familiar menyebut bulan Ruwah. Di bulan Ruwah inilah masyarakat Demak mulai melakukan berbagai tradisi Ruwahan.

Ruwahan dilakukan dengan membersihkan makam keluarga dan menaburkan bunga-bunga serta menyiramkan air jernih di atas makam setelah didoakan. Ritual tersebut diikuti dengan umbul donga yakni semacam kenduri dengan membawa makanan khas.

Di Kota Wali, umbul donga dilakukan dengan berbagai cara, tergantung kebiasaan di desa masing-masing. Namun ada kuliner wajib yang tidak bisa ditinggalkan saat nyadran yakni kue apem, sejenis kue berbahan dasar tepung beras yang dikukus.

Rasanya manis dan teksturnya lembut. Biasanya, warga akan berbagi makanan tersebut kepada tetangga sepulang dari makam. Tradisi lain yang masih dipertahankan secara turun temurun oleh masyarakat Demak adalah arwah jama'.

Ritual ini biasanya dilakukan beberapa hari menjelang Ramadhan. Diyakini tradisi ini adalah peninggalan salah satu walisongo, Sunan Kalijaga.

Beberapa orang biasanya kaum lelaki berkumpul dan mengirimkan doa bagi orang-orang yang sudah terlebih dahulu menghadap Sang Khalik.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Prosesi Arwah Jama'

Seniman Demak tengah mengelilingi gunungan apem saat Umbul Donga Ruwahan. (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)
Seniman Demak tengah mengelilingi gunungan apem saat Umbul Donga Ruwahan. (Foto: Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)

Ari Widodo (44), warga Desa Karangsari Kecamatan Karangtengah Demak mengatakan jika selepas subuh dari toa di masjid-masjid atau musala sudah terdengar mengabsen nama-nama orang yang sudah meninggal lalu diikuti dengan doa maka bisa dipastikan itu adalah prosesi arwah jama' ala warga Demak.

"Setahu saya, tiap keluarga mengirimkan nama-nama almarhum atau almarhumah untuk disebut satu persatu dan didoakan," ucapnya saat diwawancarai, Sabtu (2/4/2022).

Warga yang ingin arwah leluhurnya didoakan secara berjemaah biasanya memberikan sedekah uang untuk tiap satu nama arwah. Dana yang dikumpulkan biasanya digunakan untuk santunan yatim piatu atau keperluan lain berhubungan dengan kegiatan amal.

Satu lagi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Demak saat hari terakhir bulan Ruwah atau sore menjelang Ramadhan yakni megengan.

Dikutip dari Wikipedia, "Megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan/ngempet. Megengan merupakan suatu peringatan bahwa dalam waktu dekat akan memasuki bulan Pasa (Ramadhan), bulan di mana umat Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut,".

Megengan bagi warga Demak menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Lebih-lebih selama 2 tahun terakhir tak ada pergelaran yang melibatkan ribuan massa ini akibat pandemi Covid-19.

Sekilas Megengan

Masyarakat sudah merasa kangen dengan megengan yang identik dengan sajian kuliner berjejer mulai dari alun-alun hingga meluas sampai ke jalan raya di sekitar Masjid Agung Demak.

Kuliner khas yang dipajang sepanjang jalan berupa pecel sayuran dengan keong sawah pelengkapnya adalah lontong yang dibungkus daun pisang. Selain dimanjakan dengan berbagai makanan, pengunjung juga menanti pertunjukan seni sebagai hiburan rakyat.

Misbahul Munir (37), salah satu tokoh masyarakat Sayung Demak mengatakan bahwa warga Demak mayoritas merindukan suasana gegap-gempita dalam Megengan yang menandai awal puasa. Hanya saja masyarakat perlu sosialisasi dan edukasi tentang filosofi Megengan.

"Selama ini sebagian besar masyarakat hanya tahu Megengan artinya ada kegiatan skala besar di mana sepanjang jalan penuh dengan beraneka kuliner. Jadi perlu mengenalkan makna Megengan kepada masyarakat Demak,"ungkapnya.

Biasanya Megengan diawali dengan pemukulan bedug oleh Bupati Demak dan berakhir saat matahari terbenam. Pengunjung segera bergegas ke rumah masing-masing untuk menyiapkan diri salat magrib dan tarawih di hari pertama.

Sementara itu, Nur Wahid alias Cak One Ketua Dewan Kesenian Demak mengungkapkan bahwa masyarakat memahami bahwa megengan adalah tradisi budaya warisan leluhur yang digelar sebagai ekpresi kebahagiaan warga atas kehadiran bulan puasa.

"Megengan tetap ada meski tahun ini tidak dikoordinir pemerintah tapi oleh masyarakat dan takmir masjid Agung Demak," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya