Liputan6.com, Gorontalo - Matahari pagi mulai menguning, Ramli Sunggungi tampak sibuk bersiap untuk pergi ke kebun. Sembari mempersiapkan segala sesuatu, ia seruput kopi buatan istri. Tak lama berselang, ia pun kemudian pamit, lalu pergi ke kebun dengan mengendarai sepeda motor.Â
Ramli adalah satu di antara begitu banyak petani yang mengais rezeki dari bercocok tanam. Ceruk rezekinya makin sulit saat Covid-19 kala itu sempat mewabah di Provinsi Gorontalo.
Advertisement
Baca Juga
Meski kondisi sudah berangsur pulih dari Covid-19, namun dampaknya hingga kini masih sangat terasa. Komoditas hasil pertanian jagung yang digelutinya selama ini, hasilnya tidak sepadan dengan modal yang dikeluarkan.
Kalau sudah begitu, Ramli atau yang biasa disapa Kawali Ramu itu, mencoba jemput bola untuk berinovasi. Dengan pengetahuan seadanya, dia kemudian mencoba membudidayakan tanaman nilam yang dalam bahasa Gorontalo disebut Onumo.
Tanaman yang memiliki nama latin Pogostemon cablin ini, merupakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kosmetik, farmasi dan aroma terapi, yang fungsinya sebagai zat pengikat, salah satunya dalam pembuatan parfum.
Upaya jemput bola yang dilakukan Kawali pun tak selalu berujung manis. Hanya menguras tenaga dan pikiran, namun tidak ada pemasukan. Situasi itu kadang membuat Ramli frustrasi dan menyalahkan keadaan.
Tapi dia sadar, menyerah bukan jawaban. Jika tidak bertani, bagaimana cara dia menafkahi istri dan beberapa anaknya yang masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi?
Yang diperlukan Kawali saat ini hanyalah inovasi, untuk mendapatkan penghasilan agar dapur istri tetap mengepul. Meski mengaku gagap teknologi (gaptek), Kawali memberanikan diri belajar dari internet dan beberapa sumber untuk mengolah nilam.
"Memang kalau bisa dibilang, saya belajar sendiri. Baik itu dari internet dan beberapa sumber secara langsung," kata Ramli ditemui Liputan6.com, Sabtu (05/11/2022).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Berawal dari Satu Pohon
Ramli bercerita, jika awal mula dirinya membudidayakan tanaman Nilam ini berawal dari kegagalannya dalam membudidayakan beberapa komoditi pertanian. Mulai dari tanaman tahunan yakni kakao hingga tanaman musiman seperti jagung.
Dari kegagalan itu, kemudian dirinya memilih untuk putar haluan, ia kemudian berusaha mencari bibit Nilam. Akhirnya ia mendapatkan bibit nilam satu pohon dari warga sekitar yang tidak jauh dari rumahnya.
Bibit itu, kemudian dibeli dengan harga Rp50 ribu dari warga tersebut. Satu pohon nilam itu kemudian ditanaminya di kebun hingga tumbuh subur dan memiliki banyak tangkai baru.
"Setelah saya taman, satu pohon nilam itu tubuh subur dan memiliki tangkai yang banyak. Selanjutnya saya budidayakan lagi dengan cara melakukan stek pada satu pohon nilam itu," tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata pohon-pohon nilam itu, tumbuh subur. Kian hari, nilam yang sudah ditanam, tumbuh subur. Musabab lahan yang digarap itu, cukup dekat dengan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Tidak sampai di situ, setelah pohon nilam itu banyak dan tumbuh subur, dirinya mengalami kendala kendala dalam melakukan penyulingan. Belajar dari internet rasanya tidak cukup, sebab membuat penyulingan membutuhkan modal yang tidak sedikit.
"Meski sudah belajar, tetapi membangun tempat penyulingan membutuhkan modal besar. Kala itu, lagi-lagi saya hampir menyerah," tuturnya.
Advertisement
Berkat Pemerhati Pertanian
Hingga akhirnya, dirinya secara tak sengaja bertemu salah satu pemerhati Pertanian yang juga pernah memiliki pengalaman dalam membudidayakan nilam. Dirinya kemudian menceritakan keluh kesahnya dalam pembuatan destilasi penyulingan nilam.
"Namanya bapak Yuriko Kamaru, saat itu saya bertemu beliau dan menceritakan kendala yang saya alami. Tidak menyangka jika beliau memberikan suport dengan menyediakan dana tambahan untuk membangun destilasi penyulingan sederhana," ungkap Kawali.
Tidak hanya memberikan dana, kata Kawali Ramu, Yuriko Kamaru juga memberikan motivasi dan mindset dalam melakukan penataan lahan nilam. Mulai dari proses penanaman, pemeliharaan hingga melakukan produksi minyak nilam.
Dengan modal tersebut, dia kemudian mendirikan sebuah destilasi penyulingan yang masih sangat konvensional. Hasilnya, dari 150 kilogram nilam kering yang disuling, menghasilkan 3 kilogram minyak yang siap untuk dijual.
"Dalam 1 kilogram minyak nilam ketika saya coba jual, itu dihargai dengan Rp 420 ribu. Kalikan saja, berapa pendapatan saya dalam satu kali penyulingan," ungkapnya.
Bahkan kata Ramli, minyak nilam yang dihasilkan sempat diragukan pembeli. Menurut mereka, jika minyak nilam yang dijual itu bukan berasal dari Gorontalo, sebab kualitas minyaknya seperti yang dihasilkan oleh Provinsi Aceh.
"Mereka sempat ragu, mereka bilang minyak nilam saya hanya diambil dari aceh. Setelah mereka meninjau sendiri kebun, akhirnya mereka percaya dan mulai membeli nilam yang saya hasilkan," ujarnya.
Merekrut Tenaga Kerja
Dengan capain itu, kini Ramli sudah beberapa kali mengirim minyak nilam ke Sulawesi Tengah (Sulteng). Meski masih menggunakan destilasi penyulingan konvensional, saat ini sudah dua kali melakukan penjualan minyak nilam.
Tidak hanya itu, dengan pendapatan yang mulai mencukupi, saat ini mulai mempekerjakan warga sekitar. Setiap warga mendapatkan upah Rp 55 ribu setiap setengah hari bekerja mengangkut nilam dari kebun ke tempat penyulingan.
"Saya sudah mengirim minyak nilam ke sulteng dan hasilnya sudah saya rasakan. Intinya dalam mencoba sesuatu kita tidak harus menyerah dulu, yang penting kita fokus, rajin dan jangan lupa berdoa," imbuhnya.
Sementara itu, Pemerhati Pertanian Bone Bolango, Yuriko Kamaru saat ditemui mengatakan, jika nilam merupakan salah satu tanaman yang cocok dikembangkan di Provinsi Gorontalo. Itulah mengapa jika petani nilam ini butuh sentuhan serius dari pemerintah.
"Jika itu dilakukan, Insya Allah ini akan bernilai ekonomi yang sangat luar biasa bagi masyarakat," kata Yuriko.
Menurutnya, jika harga minyak nilam sendiri saat ini bisa terjual dengan harga Rp400 hingga Rp700 ribu. Tergantung kualitas minyak atsiri yang dihasilkan, apalagi kalau minyak itu dilakukan penyulingan kembali.
"Tentu ketika disuling kembali akan menghasilkan minyak dengan tingkat kepekatan yang tinggi. Dengan hasil itu, minyak tersebut harganya juga lebih besar," tuturnya.
Kedepannya kata Yuriko, dirinya akan terus mendorong petani untuk berinovasi. Khususnya petani nilam, karena nilam sendiri selain mudah untuk dibudidayakan, juga tidak gampang diserang hama.
"Saya ilustrasikan, kalau kita tanam jagung, pasti hamnya banyak. Mulai dari hama kecil seperti ulat dan belalang. Selain itu hama seperti bagi hutan dan monyet juga datang untuk menyerang," ia menandaskan. Â
Advertisement