Asal-Usul Ruwatan, Tradisi Jawa yang Lahir dari Kisah Pewayangan

Sebenarnya, asal-usul ruwatan berasal dari cerita pewayangan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 21 Jul 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2023, 00:00 WIB
Ruwat rambut gembel atau pemotongan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ruwat rambut gembel atau pemotongan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Yogyakarta - Ruwatan merupakan salah satu ritual penyucian yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dan Bali. Ritual atau upacara ini bertujuan untuk membebaskan seseorang dari hukuman atau kutukan dewa yang membawa bahaya.

Mengutip dari surakarta.go.id, dalam bahasa Jawa, ruwatan memiliki arti 'dilepas' atau 'dibebaskan'. Pengertian tersebut sejalan dengan fungsi utama ruwatan yang merupakan sebuah upacara untuk 'membebaskan' seseorang dari kutukan.

Sebenarnya, asal-usul ruwatan berasal dari cerita pewayangan. Terdapat kisah yang menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang memiliki dua orang istri, yaitu Pademi dan Selir.

Dari Pademi, Batara Guru memiliki seorang anak laki-laki bernama Wisnu. Sementara dari Selir, ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Batarakala.

Ketika Batarakala dewasa, ia menjadi sosok yang jahat dan kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakan. Konon, sifat jahat Batarakala disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah yang tidak terkendali.

Dalam sebuah peristiwa, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru muncul dan ia ingin bercinta dengan Selir.

Namun, Selir menolak dan sperma Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Sperma tersebut kemudian berubah menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batara Kala.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Meminta Makanan

Konon, Batara Kala meminta makanan berupa manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengizinkan dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah 'wong sukerta', yaitu orang-orang yang mendapat kesialan, seperti anak tunggal.

Dari cerita tersebutlah kemudian muncul tradisi bahwa setiap anak tunggal harus menjalani ruwatan agar terhindar dari malapetaka dan kesialan. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya sajen.

Sajen adalah makanan dan benda lain, seperti bunga, yang digunakan sebagai sarana komunikasi atau interaksi dengan makhluk tak kasat mata. Dalam tradisi ruwatan, terdapat beberapa jenis sajen yang diperlukan.

Tak hanya makanan, dalam sajen juga harus terdapat bunga, padi, kain, dan sejumlah barang lainnya yang tak terhitung. Dalam upacara ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang.

Lakon yang dipentaskan adalah lakon khusus yang disebut Murwakala. Selain itu, juga disajikan sesaji khusus untuk memuja Batara Kala.

Dengan melaksanakan ruwatan, diharapkan orang yang diruwat dapat terbebas dari bencana dan mendapatkan keselamatan. Hingga saat ini, tradisi ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena berhubungan dengan keselamatan anak tunggal dan keluarganya.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya