Liputan6.com, Banda Aceh - Ontran-ontran kasus rasuah yang terjadi di tubuh lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh kini memasuki babak baru. Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh dilaporkan ke Kompolnas oleh tiga lembaga dengan tuduhan menghentikan kasus dugaan korupsi SPPD fiktif KKR Aceh.
Seperti diketahui, KKR Aceh tengah jadi sorotan karena tersandung kasus dugaan korupsi perjalanan dinas dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 258,5 juta rupiah. Namun, kasus ini dinyatakan dihentikan pada tahap penyelidikan oleh penyelidik Polresta Banda Aceh setelah kerugian uang negara dikembalikan ke kas negara pada Kamis (7/9/2023) lalu.
Kepada media, skema restorative justice (keadilan restoratif) awalnya menjadi argumen yang dilontarkan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama sebagai alasan mengapa kasus tersebut dihentikan. Namun, ketika kantor institusi kepolisian itu diseruduk oleh sekelompok demonstran pada Selasa (10/10/2023), kata 'Restorative Justice' tak lagi dipakai.
Advertisement
Mungkin kadung malu, entah dari mana dalil pembenaran skema RJ atas perbuatan pidana yang merugikan banyak orang (baca: korupsi) itu ia pungut. Seakan gagal dengan jurus 'Restorative Justice', kini dalih mengapa penanganan kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif tidak ditindaklanjuti ke level selanjutnya adalah MoU antara Kemendagri, Kejaksaan, dan Kepolisian, tentang koordinasi aparat pengawasan internal pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penanganan laporan atau pengaduan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Dengan menggunakan MoU yang lahir pada 2023 ini, kasus dugaan korupsi di tubuh KKR Aceh dikerdilkan ke dalam kriteria 'kesalahan administratif'. Pada pasal 4 ayat 4 huruf b disebutkan bahwa kriteria kesalahan administratif itu jika 'terdapat kerugian keuangan negara dan telah diproses dengan tuntutan ganti rugi atau tuntutan pembendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK'.
Selanjutnya, pada pasal 5 ayat 1 masih dalam bab III pelaksanaan koordinasi, dijelaskan bahwa 'para pihak sepakat terhadap hasil pemeriksaan atau penyelidikan yang berindikasi kerugian keuangan negara yang nilainya lebih kecil dari biaya penanganan perkara diberikan kesempatan untuk menyelesaikan secara administratif paling lambat 60 hari'.
Dalam pasal, ayat, dan bab yang sama dijelaskan, 'apabila dalam 60 hari tidak dapat diselesaikan indikasi kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak menindaklanjuti indikasi kerugian keuangan negara dimaksud secara pidana'. Dari sinilah alasan tidak ditindaklanjutinya pengusutan atas kasus dugaan korupsi KKR Aceh dibenarkan, yakni bersebab kerugian keuangan negara telah dikembalikan ke kas negara.
Dengan alasan ini, Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli Kompol Fadillah Aditya Pratama menolak kata telah 'menghentikan' kasus dugaan korupsi SPPD fiktif KKR Aceh. Ia lebih suka disebut 'memulihkan' atau pemulihan kerugian negara.Â
"Ini merupakan "pemulihan" bukan penghentian perkara secara sepihak, di mana telah diatur dalam Nota Kesepahaman Nomor 100.4.7/437/SJ, Nomor Tahun 2023, Nomor NK/1/I/2023 tentang Koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Laporan atau Pengaduan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang ditandatangi oleh Jaksa Agung, Kapolri dan Mendagri," kata Kompol Fadillah Aditya Pratama dalam rilis diterima Liputan6.com.
Baca Juga
Dinilai Tidak Profesional
Tak terima, tiga lembaga terdiri dari LBH Banda Aceh, MaTA, dan Katahati Institute memutuskan untuk melaporkan Kompol Fadillah Aditya Pratama selaku Kasatreskrim Polresta Banda Aceh kepada Kepala Bagian Pengawasan Penyidikan Polda Aceh (Kabag Wassidik Polda Aceh), Inspektur Pengawasan Daerah Polda Aceh (Irwasda Polda Aceh), Kepala Bidang Propam Polda Aceh (Kabid Propam Polda Aceh), dan Ketua Komisi Kepolisian Nasional RI (Ketua Kompolnas).Â
Laporan secara tertulis ini dilayangkan pada tanggal 7 November 2023. Dasar laporan ini adalah keputusan Kompol Fadillah Aditya Pratama yang dinilai melawan hukum serta mencederai rasa keadilan. Selain itu, juga bertentangan dengan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Kompol Fadillah Aditya Pratama dinilai tidak profesional dan layak diberikan sanksi. Adapun pernyataan sang kasatreskrim bahwa kasus tersebut tidak 'dihentikan', tetapi 'dipulihkan' dinilai sebagai permainan kata-kata belaka dengan tujuan untuk mengelabui publik demi melindungi pelaku korupsi.Â
"Polresta Banda Aceh sedang mempertontonkan ketidakadilan dan ketidakberpihakannya kepada rakyat Aceh, terutama korban konflik. Dalih Polresta Banda Aceh yang menghentikan kasus ini karena adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Kepolisian bukanlah alasan hukum yang sah," Koordinator MaTA, Alfian, berbicara atas nama ketiga lembaga, melalui siaran pers yang diterima Liputan6.com, Selasa (14/11/2023).
Nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Kepolisian, kata Alfian, tidak dapat mengesampingkan undang-undang. Jika level MoU saja bisa mengesampingkan undang-undang, maka Indonesia akan menjadi negara kekuasaan (machstaat) dan kehilangan maknanya sebagai negara hukum (rechtstaat).
"Tidak ada alasan bagi Polresta Banda Aceh untuk menghentikan kasus ini. Tindak pidana dan alat buktinya sudah sangat jelas. Penyidik harus segera melanjutkan penyidikan dan menetapkan tersangkanya. Penghentian kasus dugaan tindak pidana korupsi KKR Aceh oleh Polresta Banda Aceh hanya akan meningkatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polisi," tegas Alfian.
Sebagai tindak pidana yang statusnya sejajar dengan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, keputusan Polresta Banda Aceh menghentikan kasus ini menunjukkan bahwa institusi kepolisian tersebut tidak peka dan tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, kata Alfian.
"Hal tersebut akan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dengan adanya preseden ini, pejabat publik tidak akan segan-segan lagi korupsi. Para koruptor bisa berlindung di balik skema pengembalian kerugian negara. Apabila perbuatan korupsinya terendus, para koruptor tinggal mengembalikan hasil curian dan perkara pun ditutup," pungkas Alfian.
Advertisement