Arti Tone Deaf dan FOMO yang Ramai di Media Sosial

Penggunaan istilah ini semakin tersebar di berbagai platform media sosial, mulai dari X, Instagram, hingga TikTok. Lalu apa arti tone deaf dan FOMO yang ramai di media sosial?

oleh Switzy Sabandar diperbarui 24 Agu 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2024, 18:00 WIB
Ilustrasi FOMO
Ilustrasi FOMO. (Image by freepik)

Liputan6.com, Yogyakarta - Bahasa mengalami perkembangan dari masa ke masa, begitu juga dengan penggunaan istilah. Belakangan ini, warganet juga banyak menggunakan istilah tone deaf dan FOMO di media sosial.

Penggunaan istilah ini semakin tersebar di berbagai platform media sosial, mulai dari X, Instagram, hingga TikTok. Lalu apa arti tone deaf dan FOMO yang ramai di media sosial?

Tone Deaf

Secara harfiah, tone deaf adalah istilah untuk menyebut tuli nada atau buta nada. Namun, istilah yang digunakan di media sosial ini sama sekali tak berhubungan dengan musik. Istilah tone deaf kemudian berkembang menjadi lebih luas dan digunakan sebagai slang.

Mengutip dari Dictionary, tone deaf adalah istilah untuk menyebut seseorang yang tidak dapat memahami sentimen, sikap, atau preferensi publik. Istilah ini juga kerap digunakan untuk melabeli seseorang yang dianggap tidak memiliki wawasan emosional, tidak peka, atau tidak simpatik terhadap orang lain.

Sebagai contoh, seseorang dengan privilese mengutarakan opini yang mengarah pada ketidakpekaan dan ketidakpedulian akan nasib orang biasa. Orang tersebut juga terkesan tak ingin tahu tentang nasib orang lain. Maka, ia akan disebut tone deaf.

Contoh lainnya adalah saat seseorang tidak menyadari perkataannya menyakiti perasaan orang lain atau tidak menyadari tindakannya yang tidak sesuai dalam situasi tertentu. Keadaan tersebut dapat dikategorikan sebagai tone deaf secara sosial.

FOMO

Fear of Missing Out atau yang lebih populer dengan singkatan FOMO adalah istilah yang juga banyak digunakan di media sosial, selain tone deaf. FOMO adalah istilah bagi mereka yang takut terlihat kurang update (tertinggal) di media sosial.

FOMO bisa mencakup fashion, informasi, isu, atau pengalaman tertentu. Mengutip dari Brain Academy, istilah FOMO diperkenalkan oleh seorang penulis asal Amerika Serikat, Patrick McGinnis.

Saat menempuh pendidikan di Harvard Business School pada 2003,  Patrick beranggapan bahwa tahun tersebut merupakan era di mana manusia berada di dalam dotcom bubble. Fase dotcom bubble merujuk pada kondisi di mana kehidupan mulai dikuasai teknologi dan informasi yang berkembang sangat pesat.

Hal ini dibarengi dengan munculnya beberapa media sosial yang membuat seseorang merasa tak ingin ketinggalan informasi atau momen apapun. FOMO menyebabkan seseorang merasa tertinggal dan berpikir bahwa kehidupan orang lain di media sosial lebih menyenangkan dibanding hidupnya sendiri.

FOMO membuat seseorang berusaha mengikuti tren. Kondisi ini juga membuat seseorang merasa takut menghadapi kenyataan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang kehilangan momen dan tidak up-to-date. Pada akhirnya, FOMO menimbulkan perasaan insecure, impulsif, dan bisa mengganggu produktivitas.

Meski terkesan negatif, tetapi FOMO juga bisa dialihkan ke hal positif. Seseorang bisa saja menjadi FOMO untuk hal-hal baik, seperti menggali isu yang sedang berkembang demi menambah pengetahuan.

FOMO dapat meningkatkan kepedulian terhadap sebuah isu penting. Dengan demikian, FOMO juga bisa dialihkan ke hal positif untuk menghindari perilaku tone deaf.

 

Penulis: Resla

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya