Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana mengesahkan aturan pelaksana Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksana atas Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 pada pertengahan September ini.
Langkah yang terburu-buru ini jelas akan menambah beban bagi ekosistem pertembakauan. Upaya kejar target penyusunan Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) atas PP No 28 Tahun 2024 ini akan memperlebar jurang ekonomi dan menambah tingkat pengangguran nasional.
"Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan, dari Januari hingga Juni telah terjadi PHK bagi sebanyak 101.536 pekerja di seluruh Indonesia," kata Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, Rabu (4/9/2024).
Advertisement
Baca Juga
"Situasi ini menjadi sebuah ironi, mengingat ada enam juta tenaga kerja ekosistem pertembakauan yang akan terkena dampak dari keputusan Kemenkes yang buru-buru dalam implementasi PP Kesehatan yang sangat polemik ini," sambungnya.
Budhyman memaparkan, 2,5 juta petani tembakau; 1,5 juta petani cengkeh; dan 600 ribu tenaga kerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang berada di sisi hulu ekosistem pertembakauan terkena imbas dari PP No 28 Tahun 2024 yang eksesif dan menekan sisi hilir IHT.
"Tenaga kerja adalah sumber daya yang memegang peranan penting dalam berbagai jenis serta tingkatan dalam ekosistem pertembakauan. PP Kesehatan yang sejatinya fokus mengatur tentang sektor kesehatan ternyata turut mencakup pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif yang bukan lagi mengatur pertembakauan tapi mematikan," tegas Budhyman.
"Kebijakan pengendalian di hilir industri tembakau, pasti berdampak kepada pemangku kepentingan di sisi hulu, seperti petani tembakau dan cengkeh. Saat ini beberapa daerah pertanian tembakau memulai proses panen. Dengan kondisi di sisi hilir yang terancam dengan pasal 429 hingga pasal 463 di PP No 28 tahun 2024, justru menimbulkan ketidakpastian bagi kami," lanjutnya.
Â
Menambah Beban IHT
AMTI juga berpandangan, pengaturan pada pasal-pasal Pengamanan zat Adiktif dalam PP Kesehatan dibuat hanya untuk menambah beban IHT sehingga berimbas pada pengurangan tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh.
Salah satu pasal yang disorot karena menjadi beban adalah rencana pelaksanaan Pasal 435 yang menyinggung mengenai ‘standardisasi kemasan’.
"Kemarin kita sama-sama lihat, rencana pelaksanaan pasal ini sangat eksesif, nuansanya adalah dorongan untuk menerapkan kemasan polos seperti ada di Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi FCTC," ujar Budhyman.
Budyman menambahkan, dampak penerapan kemasan polos sangat mengabaikan kondisi serta keberadaan IHT bagi negara.
"AMTI konsisten menolak aturan kemasan polos. Dulu tahun 2014 dan 2015 kami bahkan turun ke jalan bersama ratusan petani tembakau untuk menyuarakan penolakan terhadap kebijakan kemasan polos yang diterapkan oleh Pemerintah Australia. Kami juga salut dengan posisi Pemerintah Indonesia yang saat itu juga telah menggugat kebijakan kemasan polos di WTO," tegas Budhyman.
Advertisement
Harusnya Lindungi Harapan Petani
Berkaca pada penyusunan RPP Kesehatan, Budhyman mengingatkan pemerintah harusnya dapat melindungi harapan dan mata pencaharian petani tembakau, petani cengkeh dan pekerja SKT dengan regulasi yang adil dan berimbang sehingga dapat menjadi payung pelindung bagi komoditas tembakau dan eksosistemnya.
"Bukan sebaliknya, terburu-buru merampungkan aturan teknis PP Kesehatan yang bisa menambah angka pengangguran di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit ini. Yang harusnya diputuskan bersama saja Kementerian Kesehatan tidak transparan, apalagi untuk Peraturan Menteri Kesehatan. Seharusnya, pemerintah fokus untuk mengatasi ketimpangan serapan tenaga kerja bukan memperlebar jurang kemiskinan dengan menambah angka pengangguran di sektor IHT," paparnya.
AMTI sebagai wadah perjuangan jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya dalam ekosistem hasil tembakau dengan ini berharap Pemerintah meninjau kembali PP 28/2024 dan tidak serta merta mensahkan turunan teknis pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif pada RPMK tanpa mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemangku kepentingan terdampak dan Kementerian Lembaga yang relevan dengan ekosistem tembakau.
"Kami berharap Pemerintah mempertimbangkan aspirasi pemangku kepentingan ekosistem tembakau nasional dan tidak mematikan sumber penghasilan kami dengan regulasi yang referensinya dari negara lain, karena sebagai warga negara kami berhak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai Undang-Undang," tandasnya.