Liputan6.com, Yogyakarta - Soe Hok Gie merupakan seorang tokoh aktivis yang lahir pada 17 Desember 1942. Ia dikenal melalui gerakan mahasiswa 1966 dari Universitas Indonesia.
Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia Kemdikbud, Soe Hok Gie memiliki latar keluarga sederhana yang dekat dengan dunia sastra. Ayahnya seorang sastrawan Melayu Tionghoa bernama Soe Lie Pit.
Advertisement
Soe Hok Gie menempuh studi di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada 1961. Semasa kuliah, Gie bersahabat dengan Ong Hok Ham dan Nugroho Notosusanto. Selain menempuh pendidikan, ia juga sempat menjadi asisten peneliti Mary Somers Heidhues, yang saat itu meneliti tentang Baperki.
Advertisement
Baca Juga
Demi penelitian tersebut, ia membaca koran-koran Tionghoa di Perpustakaan Museum Pusat selama 12 bulan. Hal ini menumbuhkan minatnya terhadap ke-Tionghoa-an.
Saat usia muda, Soe Hok Gie menjadi salah satu pimpinan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang mengusung konsep asimilasi. Namun, ia mengundurkan diri pada 1966 karena keterlibatan LPKB dalam bisnis yang dianggapnya kurang jelas.
Selama berkuliah, Soe Hok Gie adalah seorang pencinta alam yang menjadi salah seorang pendiri kelompok Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI pada 1964. Ia juga menjadi salah satu motor utama demonstrasi anti-Soekarno dari FSUI.
Ia merupakan salah satu aktivis yang menonjol saat berdemonstrasi dengan berjalan kaki dari kampus Salemba menuju kampus Rawamangun. Aksi tersebut dilakukan bersama sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra pada 11 Januari 1966.
Mereka kemudian melanjutkan demonstrasi selama sepekan penuh. Adapun demonstrasi besar selanjutnya saat Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) diundang Soekarno ke Istana Bogor pada 15 Januari 1966.
Saat itu, Soe Hok Gie bersama rombongan mahasiswa ikut mendukung para pimpinan KAMI di Bogor. Adapun demonstrasi lain yang menonjol adalah pada 9 dan 10 Maret 1966. Demonstrasi tersebut menyerang sejumlah rumah pribadi, salah satunya rumah Oei Tjoe Tat yang dianggap menjadi pendukung setia Soekarno dan dekat dengan kelompok Kiri.
Setelah Orde Baru, Soe Hok Gie kembali ke kampus dan menjadi ketua Senat Fakultas Sastra UI pada 1967-1968. Sikapnya ini sejalan dengan pandangannya tentang tugas mahasiswa sebagai gerakan moral yang berjarak dengan kegiatan politik praktis.
Mengkritisi Pemerintah
Soe Hok Gie kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Soeharto dengan Orde Barunya. Salah satu hal yang paling awal mengungkap terjadinya pembunuhan massal yang terjadi di periode itu adalah tulisan-tulisannya.
Dalam sebuah artikel yang terbit di majalah mahasiswa pada 1967, Soe Hok Gie menggunakan nama samaran Dewa. Ia menceritakan pembunuhan massal yang terjadi di Bali.
Sesaat sebelum lulus, Soe Hok Gie berkesempatan ke Amerika Serikat selama tiga bulan untuk mengunjungi sejumlah kampus dan komunitas. Dalam kunjungan tersebut, Ia mengamati masyarakat Amerika secara langsung.
Ia juga mengamati gerakan perang Vietnam ataupun gerakan menuntut persamaan hak kaum kulit hitam. Dalam kunjungan tersebut, ia juga mengumpulkan bahan-bahan untuk skripsinya.
Pada 1969, Soe Hok Gie menyelesaikan kuliahnya dengan judul skripsi Simpang Kiri sebuah Jalan (Kisah Pemberontakan Madiun September 1948) yang kemudian diterbitkan pada 1997 dengan judul yang sama. Setelah lulus, Soe Hok Gie mengajar di Fakultas Sastra sambil terus melanjutkan kritik-kritiknya yang tajam.
Saat di era Orde Baru, Soe Hok Gie masih meneruskan hobinya naik gunung. Pendakian terakhirnya adalah di Gunung Semeru, Jawa Timur.
Bersama kawan-kawannya, ia memulai pendakian pada 14 Desember 1969. Saat berada di Gunung Semeru, Soe Hok Gie terjebak dalam asap beracun.
Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya. Ia meninggal bersama sahabatnya, Idhan Lubis.
Jenazah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis disemayamkan di FSUI sebelum akhirnya dimakamkan di Menteng Pulo. Agar dekat dengan orangtua, makamnya dipindahkan ke pemakaman di Tanah Abang.
Saat pemakaman Tanah Abang digusur oleh pemerintah DKI pada 1975, tulang belulang Soe Hok Gie dikremasikan dan abunya disebarkan teman-teman pencinta alamnya di Gunung Pangrango.
Pasca kematiannya, penerbit LP3ES menerbitkan catatan hariannya dengan judul Catatan Seorang Demonstran pada 1983. Pada 1990, karya-karya studinya diterbitkan, dimulai dengan skripsi sarjana mudanya Di Bawah Lentera Merah: Riwajat Sarekat Islam Semarang 1917-1920.
Pada 2005, film berjudul Gie diproduksi. Film ini disutradarai oleh Riri Riza dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Sosok Soe Hok Gie dalam film tersebut diperankan oleh Jonathan Mulia (Soe Hok Gie muda) dan Nicholas Saputra.
Penulis: Resla
Advertisement