11 Februari 1899: Teuku Umar Gugur di Tangan Belanda

Perlawanan Teuku Umar terjadi pada 1875-1899. Pahlawan yang lahir di Meulaboh, Aceh Barat, pada 1854 ini bercita-cita ingin membebaskan daerahnya dari kekuasaan asing.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 11 Feb 2025, 02:00 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2025, 02:00 WIB
Tugu Teuku Umar di Meulaboh Aceh Barat
Tugu Teuku Umar di Meulaboh Aceh Barat. (Liputan6.com/Rino Abonita)... Selengkapnya

Liputan6.com, Aceh - Teuku Umar adalah seorang pahlawan dari Aceh yang ikut berjuang saat melawan Belanda. Ia gugur dalam pertarungannya melawan Belanda pada 11 Februari 1899.

Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Perlawanan Teuku Umar terjadi pada 1875-1899. Pahlawan yang lahir di Meulaboh, Aceh Barat, pada 1854 ini bercita-cita ingin membebaskan daerahnya dari kekuasaan asing.

Perang Aceh dengan Kolonial Belanda mulai berkobar saat usia Umar 19 tahun. Pada masa awal perang, ia belum ikut berjuang karena masih terlalu muda.

Meski demikian, ia sudah menjadi Keuchik, yakni yang memimpin sebuah desa atau kepala desa, di daerah Daya Meulaboh. Saat usia 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang.

Ia kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, seorang Putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu, ia memakai gelar Teuku.

Meski tak mengenyam pendidikan di sekolah, ia tetap memiliki pemikiran yang cerdas. Teuku Umar berpikir bahwa Aceh harus mempunyai pasukan yang kuat dan terlatih.

Teuku Umar pun akhirnya membentuk pasukan tempur. Ia merekrut orang-orang yang berani dan tangkas untuk menjadi anggota pasukan yang siap tempur.

Perang Aceh dan Belanda kian berkecamuk hingga berjatuhan banyak korban, baik di pihak Belanda maupun Aceh. Teuku Umar pun mengunjungi saudara sepupunya, Cut Nyak Dhien, yang baru saja kehilangan suaminya Ibrahim Lamnga. Suaminya gugur dalam pertempuran 1878.

Kedatangan Teuku Umar untuk membicarakan situasi yang dihadapi rakyat Aceh. Saat perlawanan rakyat terhadap Belanda semakin kendor dan tidak terkoordinasi dengan baik, Ia menyatakan kekhawatirannya kepada Nanta bahwa telah banyak pejuang Aceh yang gugur.

 

Menikah

Dalam kondisi tersebut, Cut Nyak Dhien berharap Umar maju untuk memimpin pasukan. Akhirnya, Teuku Umar menikahi Cut Nyak Dhien untuk melanjutkan perjuangan.

Dalam perang kolonial terlama dan termahal tersebut, Belanda harus kehilangan jenderalnya, Mayor Jenderal Kohler. Ia tertembak pada 14 April 1873. Belanda pun harus mengaktifkan kembali jenderal panglima pasukan Hindia Belanda yang sudah pensiun, Letnan Jenderal J. van Swieten.

Sementara itu di sisi lain, Aceh juga kehilangan sultannya, Sultan Mahmud Syah. Ia wafat pada 29 Januari 1878 di Pagar Ayer karena penyakit kolera dan dimakamkan di Cot Bada.

Setelah mangkatnya sultan, Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dinobatkan sebagai sultan yang bertempat di masjid Indrapuri pada 1878. Namun karena masih belum dewasa, pemerintahan pun dijalankan oleh Tuanku Hasyim sebagai mangkubumi.

Adapun yang diangkat menjadi Amirul Al-Bahri atau panglima laut untuk wilayah Aceh Barat adalah Teuku Umar. Dalam perang terbesar Belanda di Nusantara tersebut, Teuku Umar melakukan banyak aksi heroik.

Pada 1886, Teuku Umar menyerang kapal Hok Canton yang berlayar di pantai Rigaih, Aceh Barat. Saat itu, tentara Belanda di bawah pimpinan Kolonel Van Teijn yang dikirim ke sana gagal membebaskan awak kapal yang disandera Teuku Umar. Akibatnya, Belanda harus membayar tebusan kepada Teuku Umar sebesar 25.000 ringgit untuk membebaskan tawanan.

Teuku Umar juga melakukan aksi manuver yang cukup mencengangkan. Ia berpihak kepada Belanda dan mengkhianati kaum muslimin.

Pada September 1893, Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu membuat Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan.

Kepadanya dipercayakan 250 orang pasukan, uang sebanyak 66.360 florin setahun, serta dibuatkan sebuah rumah di Lam Pisang, Aceh Besar. Dengan keputusan Pemerintah Belanda pada 17 Januari 1896, ia diangkat sebagai Uleebalang Leupueng, sebelah Selatan Aceh Besar.

Namun, aksi manuver Teuku Umar itu hanya sebuah taktik perang. Meski sempat membuat kaum muslimin terkejut, tetapi akhirnya mereka memahami manuver Teuku Umar.

Pada 29 Maret 1896, Teuku Umar dan segenap pengikutnya meninggalkan Belanda. Melalui surat yang dilayangkan Teuku Umar tertanggal 30 Maret 1896, ia menyatakan sikapnya meninggalkan pihak Belanda.

Dalam surat tersebut, Teuku Umar beralasan bahwa ia telah dipermalukan oleh kontrolir Ulee Lheue dan Jaksa Kepala. Dalam suratnya tertanggal 12 dan 13 April, ia menyatakan kekecewaannya terhadap bintang jasa yang dijanjikan, tetapi tidak diberi. Sebelumnya, ia dijanjikan 15.000 florin setiap bulan jika bersedia mengamankan Aceh.

Tindakan ini cukup membuat pihak Belanda khawatir. Pasalnya, Teuku Umar memiliki uang, mesiu, dan alat-alat senjata yang diperolehnya dari Belanda. Bahkan, pasukannya juga banyak mempelajari cara-cara bertempur dari Belanda.

 

Pengkhianatan

Bagi Belanda, ini merupakan pengkhianatan besar. Bahkan, kekecewaan mereka juga tercermin dari lagu-lagu jalanan yang timbul kala itu, 'Teuku Umar Die Moet Hangen' (Teuku Umar Mesti Digantung) dan 'Aan Een Touw, Aan Een Touw Teuku Umar en Zijn Vrouw' (Gantung Di Tali, Gantung Di Tali, Teuku Umar Dan Istrinya).

Teuku Umar menjadi orang yang sangat dicari oleh Belanda. Pada Januari 1899, Van Heutsz datang sendiri ke tempat yang paling utama di Pantai Barat, Meulaboh, yang disinyalir merupakan tempat keberadaan Teuku Umar.

Saat itu, ada pasukan khusus pemburu Teuku Umar yang diberi nama Kolene Lumpur. Nama ini dianggap tepat karena pasukan ini berkubang mengarungi rawa-rawa pantai selama sekitar lima bulan.

Sejumlah pasukan yang ada di bawah komando Letnan Verbrugh ditempatkan di bawah pohon-pohon di pantai. Ketika terlihat kerumunan orang muncul dalam kegelapan, tembakan dilepaskan.

Orang-orang di pantai pun tewas. Saat pagi hari, baru diketahui bahwa di antara orang-orang yang tewas tersebut ada Teuku Umar.

Teuku Umar wafat pada 11 Februari 1899 di Ujung Kala, dekat Meulaboh. Atas jasanya, Teuku Umar kemudian diberikan gelar pahlawan nasional oleh negara dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087TK/tahun 1973 pada 6 November 1973.

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya