Liputan6.com, Yogyakarta - Penemuan sistem golongan darah ABO menjadi tonggak penting dalam sejarah kedokteran modern, khususnya dalam prosedur transfusi darah yang telah menyelamatkan jutaan nyawa. Penamaan sistem ini ternyata memiliki dasar ilmiah yang kuat, bukan sekadar urutan alfabet seperti yang mungkin dibayangkan banyak orang.
Mengutip dari berbagai sumber, sebelum tahun 1900, dunia medis masih menganggap semua darah manusia identik. Kondisi ini menyebabkan tingginya kegagalan dalam prosedur transfusi darah, bahkan seringkali berujung pada kematian pasien.
Advertisement
Praktik transfusi pada masa itu masih sangat primitif, dengan percobaan menggunakan darah hewan seperti anjing, sapi, dan kambing untuk ditransfusikan ke manusia. Terobosan pertama dalam pemahaman tentang golongan darah dimulai ketika Karl Landsteiner melakukan serangkaian eksperimen pada tahun 1900.
Advertisement
Baca Juga
Ia menemukan fenomena penggumpalan yang terjadi ketika darah dari individu berbeda dicampurkan. Penelitian ini menghasilkan klasifikasi awal tiga tipe darah: A, B, dan C.
Landsteiner mengidentifikasi keberadaan dua jenis aglutinogen dalam darah manusia, yang kemudian diberi nama aglutinogen A dan B. Penemuan ini menjelaskan mengapa darah tipe A mengandung aglutinogen A, tipe B mengandung aglutinogen B, sedangkan tipe C tidak mengandung aglutinogen sama sekali namun memiliki antibodi anti-A dan anti-B.
Perkembangan berikutnya terjadi ketika dua murid Landsteiner, Adriano Sturli dan Alfred von Decastello, menemukan golongan darah keempat. Penemuan ini kemudian dilengkapi oleh kontribusi Ludwig Hirszfield dan Emil Freiherr von Dungern pada tahun 1910, yang menciptakan sistem penamaan berdasarkan kandungan aglutinogen.
Sistem penamaan ini didasarkan pada logika ilmiah yang cermat. Golongan darah A dinamai demikian karena mengandung aglutinogen A, yang terinspirasi dari huruf pertama alfabet Yunani, alfa. Golongan darah B mengacu pada aglutinogen B, yang berasal dari huruf kedua alfabet Yunani, beta.
Golongan darah yang awalnya disebut tipe C diubah menjadi O, mengacu pada kata null atau nol, karena tidak mengandung aglutinogen. Sementara golongan darah keempat dinamai AB karena mengandung kedua jenis aglutinogen.
Sistem penamaan ini terbukti lebih efektif dibandingkan penggunaan urutan ABCD, karena langsung menunjukkan karakteristik masing-masing golongan darah. Hal ini memudahkan tenaga medis dalam mengingat dan menentukan kompatibilitas transfusi darah antar golongan.
Penulis: Ade Yofi Faidzun