Saham Unggulan Topang IHSG Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,32 persen dari posisi 5.905 pada 6 Oktober 2017 menjadi 5.924 pada 13 Oktober 2017.

oleh Agustina Melani diperbarui 14 Okt 2017, 09:36 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2017, 09:36 WIB
20161125- Sesi Siang IHSG Naik 5 Persen-JAkarta-Angga Yuniar
Volume perdagangan hingga sesi siang ini tercatat sebanyak 3,795 miliar saham senilai Rp 1,982 triliun. Sebanyak 163 saham naik, 111 saham melemah dan 89 saham stagnan, Jakarta, Jumat (25/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Penguatan IHSG didorong saham yang masuk jajaran indeks saham LQ45 yang naik 0,22 persen.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Jumat (13/10/2017), kenaikan indeks saham LQ45 tersebut didorong komoditas.

IHSG pun naik 0,32 persen dari posisi 5.905 pada 6 Oktober 2017 menjadi 5.924 pada 13 Oktober. Investor asing melakukan aksi jual US$ 99 juta selama selama sepekan.

Di pasar surat utang atau obligasi cenderung mendatar. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun berada di level 6,5 persen. Investor asing melakukan aksi jual US$ 180 juta di pasar obligasi.

Adapun sentimen yang pengaruhi pasar pada pekan ini antara lain rilis hasil pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve.

Pejabat the Federal Reserve memperkirakan kenaikan suku bunga lagi pada 2017. Pejabat the Federal Reserve mengharapkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) lebih tinggi, sedangkan inflasi inti terlihat lebih rendah.

Dengan prediksi jangka menengah sedikit berubah, inflasi akan berada di bawah dua persen, dan suku bunga relatif rendah.

Dari data ekonomi, AS mencatatkan gaji pegawai di sektor nonpertanian turun 33 ribu pada September 2017. Angka ini jauh di bawah harapan pasar sekitar 90 ribu. Penurunan tersebut pertama sejak September 2010 lantaran penurunan lapangan kerja yang tajam di industri layanan makanan dan minuman. Ini dampak dari Badai Irma dan Harvey.

Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga terus melanjutkan wawancara dengan calon pimpinan the Federal Reserve. Pada Rabu lalu, Donald Trump bertemu dengan Ekonom Stanford John Taylor. Sebelumnya Trump bertemu dengan mantan Gubernur the Federal Kevin Warsh. Seorang sumber mengatakan, Jerome Powell juga masuk daftar calon pimpinan the Federal Reserve.

Sentimen lainnya pengaruhi pasar keuangan yaitu kondisi Spanyol. Negara tersebut sedang alami kondisi darurat politik dalam satu generasi usai Pemimpin Catalonia Carles Puigdemont menyatakan merdeka usai referendum pada 1 Oktober 2017.

Hal itu menimbulkan ketidakpastian politik dan hukum jika Puigdemont mendorong usahanya untuk berpisah dari Spanyol. Analis S&P mengatakan, bila Catalonia dan pemerintah pusat tidak terkendali dapat menyebabkan penurunan kepercayaan dan gangguan bisnis. Lembaga pemeringkat internasional S&P dan Fitch mempertimbangkan untuk menurunkan peringkat kredit Catalonia.

Dari dalam negeri, penerimaan pajak mencapai Rp 770,7 triliun hingga September 2017. Angka ini sektiar 60 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp 1.283 triliun.

Realisasi sudah mencapai 64 persen dari anggaran revisi 2017. Ini menunjukkan belanja tumbuh 5,2 persen dan defisit fiskal mencapai dua persen dari produk domestik bruto (PDB) masih di bawah target pemerintah sebesar 2,9 persen.

Selain itu, pasar saham hadapi rilis laporan keuangan baik di Indonesia dan AS. Dari AS, sejumlah bank sudah sampaikan laporan keuangan yaitu JP Morgan dan Citigroup. Hasil kinerja perusahaan bank yang merosot mendorong bursa saham AS tertekan. Sedangkan di Indonesia, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan kenaikan laba bersih 32 persen sesuai konsensus analis.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Rupiah Jadi Sorotan

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Ashmore menyoroti soal rupiah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah 2,6 persen dari level tertinggi pada kuartal III 2017. Hal itu sempat membuat pasar keuangan tertekan. Akan tetapi, tak hanya rupiah yang melemah, mata uang negara berkembang juga depresiasi sekitar 2,5 persen. Ashmore melihat dolar AS menguat menjadi sentimen negatif untuk rupiah, jadi bukan karena faktor fundamental ekonomi Indonesia.

Ada tiga faktor yang mendorong dolar AS menguat. Pertama, rencana reformasi pajak oleh Donald Trump. Kedua, pernyataan agresif oleh pejabat the Federal Reserve. Ketiga, pergantian pimpinan the Federal Reserve.

Ashmore menilai, penguatan dolar AS lebih didorong perbaikan ekonomi AS. Hal itu mengingat rencana reformasi pajak baru sebatas harapan, dan perlu kembali dilihat bagaimana eksekusinya. Reformasi pajak tersebut juga dinilai belum akan dilakukan dalam waktu dekat.

Sedangkan dari pernyataan pejabat the Federal Reserve perlu juga disandingkan dengan data ekonomi AS. The Federal Reserve kini lebih mengeluarkan pernyataan lembut dengan memilih bukti kuat untuk kenaikan harga sebelum mendukung kenaikan suku bunga ketiga kali.

PT Ashmore Assets Management Indonesia melihat ekonomi Indonesia masih tetap sangat mendukung nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ini ditunjukkan dari cadangan devisa Indonesia mencapai level tertinggi US$ 128,4 miliar.

Indonesia juga masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang tinggi. Neraca dagang mencapai US$ 1,72 miliar pada Agustus 2017.

Adapun risiko terhadap mata uang berasal dari pasar domestik yang didorong lonjakan harga minyak. Dengan melihat inflasi dan volatilitas tetap rendah, investasi di saham dan obligasi tetap menarik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya