Wall Street Lesu Setelah The Fed Bakal Perketat Kebijakan Moneter

Wall Street kompak melemah seiring pasar bersiap hadapi kebijakan moneter the Fed lebih ketat.

oleh Agustina Melani diperbarui 06 Jan 2022, 07:06 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2022, 07:06 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street merosot pada perdagangan Rabu, 5 Januari 2022. Indeks Dow Jones alami koreksi pertama kali pada 2022 seiring wall street bersiap hadapi kebijakan moneter AS yang berpotensi lebih ketat.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 392,54 poin atau 1,07 persen menjadi 36.407,11. Indeks acuan ini sempat sentuh rekor tertinggi intraday pada sesi sebelumnya di wall street. Indeks S&P 500 merosot 1,94 persen menjadi 4.700,58. Indeks Nasdaq tergelincir 3,34 persen menjadi 15.100,17.

Imbal hasil obligasi juga menguat sehingga menekan saham. Hal ini setelah rilis risalah bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) menunjukkan bank sentral diskusi mengurangi neraca setelah menaikkan suku bunga pada 2022.

Tapering atau pengurangan stimulus telah berlaku dan mengindikasikan pasar kalau the Fed akan menaikkan suku bunga setelah tapering off selesai pada Maret 2022.

Namun, pasar masih menunggu indikasi dari the Fed tentang apa yang akan dilakukan dengan neraca hampir USD 9 triliun setelah selesai meningkatkannya. Risalah juga menunjukkan pejabat untuk mempertimbangkan menyusutkan neraca bersama dengan menaikkan suku bunga sebagai cara lain untuk hapus pelonggaran kebijakan moneter.

"Hampir semua peserta setuju mungkin tepat untuk memulai limpahan neraca di beberapa titik setelah kenaikan pertama dalam kisaran target suku bunga,” demikian risalah pertemuan itu dikutip Kamis (6/1/2022).

CEO Infrastructure Capital Management Jay Hatfield menuturkan, sentimen penyusutan neraca itu menjadi risiko utama pada 2022. “Jika the Fed mulai menyusutkan neraca, itu akan menjadi bencana,” kata dia.

Ia berasumsi the Fed akan menjaga neraca mendatar, tetapi ada kemungkinan jika inflasi tetap sangat panas sehingga mulai membiarkan neraca berjalan.

"Jika itu terjadi, bukan hanya mereka tidak menyuntikkan likuiditas, mereka mengeluarkan likuiditas,” tambah Hatfield.

Hatfield menilai, Anda tidak akan berada di pasar ketika the Fed menarik likuiditasnya. “Itu seperti berada di Coke ketika Warren Buffett menjual posisinya,” kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Gerak Saham di Wall Street

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis David Haubner (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

The Fed juga mengisyaratkan bisa lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. “Peserta umumnya mencatat, mengingat pandangan masing-masing untuk ekonomi, pasar tenaga kerja, dan inflasi mungkin diperlukan untuk meningkatkan suku bunga lebih cepat dari pada yang diantisipasi peserta sebelumnya,” demikian risalah itu.

Di sisi lain, saham teknologi raksasa merosot. Saham Netflix dan Alphabet masing-masing susut 4 persen. Saham Meta Platforms dan Microsoft susut lebih dari tiga persen, Apple merosot 2,7 persen.

Saham Salesforce turun 8,2 persen setelah UBS downgrade atau turunkan peringkat. UBS juga memangkas peringkat Adobe sehingga membawa saham Adobe turun 7,1 persen. Saham Advanced Micro Devices dan Nvidia melemah 5 persen.

“Anda telah melihat pergerakan investor beralih dari saham teknologi, pertumbuhan tinggi, dan momentum ke saham bernilai, siklus dan raih laba. Likuiditas yang mendorong ini bukan suku bunga tentu saja,” ujar dia.

“Ketika ada likuiditas, Anda mencari momentum karena the Fed memaksa saham dan obligasi untuk reli. Jika the Fed akan menarik likuiditas itu keluar, Anda mengatakan saya ingin berada dalam risiko paling rendah,” ia menambahkan.

Di sisi lain, saham Honeywell dan Caterpillar membukukan kenaikan tipis di tengah aksi jual pasar. Saham Pfizer naik dua persen setelah analis Bank of America dongkrak saham.

“Paruh pertama tahun ini akan menjadi semua tentang prospek pertumbuhan Amerika Serikat yang kuat yang seharusnya menguntungkan saham siklikal, tetapi tekanan berkelanjutan dengan saham teknologi tidak dibenarkan mengingat the Fed belum resmi memulai siklus kenaikan suku bunga,” ujar Analis Senior Oanda Edward Moya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya