Wall Street Anjlok Tersengat Memanasnya Ketegangan Rusia-Ukraina

Tiga indeks acuan utama di wall street kompak tertekan seiring kekhawatiran kenaikan suku bunga the Fed dan ketegangan Rusia-Ukraina.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Feb 2022, 06:54 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2022, 06:54 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Reaksi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melemah pada perdagangan Senin,14 Februari 2022. Kekhawatiran rencana the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS menaikkan suku bunga dan ketegangan Rusia-Ukraina menjadi perhatian investor sehingga menekan indeks Dow Jones dan S&P 500.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 171,89 poin menjadi 34.566,17 terseret tekanan saham Walgreens Boots Alliance dan Chevron. Indeks S&P 500 turun 0,4 persen menjadi 4.401,67. Indeks Nasdaq melemah tipis ke 13.790,92. Pada awal sesi perdagangan, indeks Nasdaq naik hampir 1 persen.

Investor memantau berita utama terkait konflik Rusia-Ukraina. Hal tersebut juga berdampak terhadap harga minyak. Harga minyak melemah selama perdagangan awal pekan ini. Akan tetapi pada Senin sore, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 2,6 persen menjadi di atas USD 95 per barel dan saham merosot.

Mengutip laman CNBC, Selasa (15/2/2022), tidak jelas apa yang mendorong kenaikan harga minyak pada akhir sesi perdagangan,tetapi Amerika Serikat menutup kedutaan di Kyiv. Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan, ada penumpukan pasukan Rusia secara dramatis di perbatasan Ukraina.

Indeks volatilitas Cboe yang mengukur kekhawatiran wall street melonjak mendekati sesi tertinggi pada perdagangan Senin sore di atas 31 dan berakhir di atas 28 poin.

Sementara itu, saham industri antara lain Caterpillar dan Boeing masing-masing turun 0,71 persen dan 1,1 persen.

"Prospek pasar saham global tetap lemah dalam pandangan kami, dengan pasar di bawah tekanan bukan hanya karena kenaikan imbal hasil obligasi secara global dan prospek kenaikan suku bunga, tetapi juga ketegangan geopolitik,” ujar Analis Credit Suisse, David Sneddon.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Inflasi Jadi Perhatian

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas
Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Namun, tidak semua berada dalam posisi pesimistis. VanEck Russia ETF, sekuritas yang diperdagangkan di AS yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan Rusia ditutup naik 2,5 persen. Saham minyak Exxon Mobil turun 1,5 persen dan ConocoPhillips susut 2,1 persen.

Pada Senin pagi waktu setempat, Presiden Fed St Louis James Bullard menuturkan, bank sentral perlu memerangi inflasi lebih agresif. Pernyataan itu juga yang menekan pasar saham pada pekan lalu.

"Kami terkejut dengan kenaikan inflasi. Ini banyak inflasi,” ujar Bullard kepada CNBC.

Ia menambahkan, kredibilitas dipertaruhkan di sini. The Fed harus bereaksi terhadap data tersebut. "Namun, saya pikir kita bisa melakukannya dengan cara yang terorganisir dan tidak menganggu pasar,” tutur dia.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi pada Januari melonjak 7,5 persen, kenaikan 12 bulan terbesar sejak 1982.

"'Penafsiran saya tidak hanya pada laporan itu saja, tetapi empat laporan terakhir yang diambil bersamaan telah mengindikasikan inflasi meluas dan mungkin meningkat dalam ekonomi Amerika Serikat,” ujar Bullard.

Prediksi Kenaikan Suku Bunga

(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)
(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)

Adapun pasar sekarang mengharapkan kenaikan 50 basis poin atau 0,5 persen, pada pertemuan bank sentral Maret 2022.

Ekonom di Goldman Sachs juga menaikkan perkiraan kenaikan suku bunga sebanyak tujuh kali pada 2022. Goldman Sachs juga menyebutkan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun mencapai 2,25 persen pada 2022.

Perseroan juga menurunkan target indeks S&P 500 dari 5.100 menjadi 4.900. Dengan demikian, imbal hasil hanya 2,8 persen dari tingkat suku bunga acuan terakhir pada 2021. Goldman Sachs juga menyebutkan suku bunga lebih tinggi akan menghambat valuasi.

Selain itu, investor telah bergulat dengan potensi perang antara Rusia dan Ukraina. Presiden AS Joe Biden berusaha mencegah Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina, tetapi gagal mencapai kesepakatan.

Sejumlah maskapai juga telah menghentikan dan mengalihkan penerbangan ke Ukraina di tengah krisis yang terjadi. Sementara Pentagon memerintahkan keberangkatan pasukan AS di Ukraina.

Di sisi lain, sentimen terbantu komentar dari Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov yang menyarankan Rusia akan melanjutkan pembicaraan diplomatic dengan Barat mengenai Ukraina.

“Meskipun risiko konflik di Ukraina tinggi, itu akan berdampak terbatas pada pasar saham global dan kemungkinan mendorong penilaian ulang yang dovish oleh bank sentral,” ujar JPMorgan Chief Global Market Strategist, Marko Kolanovic.

Pada Jumat pekan lalu, rata-rata indeks utama turun karena Gedung Putih memperingatkan perang di Ukraina dapat dimulai kapan saja dan mendesak warga Amerika Serika untuk segera pergi.

"Ketakutan yang sebenarnya adalah China mendukung Rusia dan hubungan antara China dan AS terus memburuk," ujar Chief Investment Officer Upholdings, Robert Cantwell.

"Bagaimana hal itu mengubah hubungan AS dengan negara adidaya ekonomi lainnya, itulah yang benar-benar menakutkan dan akan memengaruhi hasil ekonomi,” ia menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya