Prospek Obligasi Korporasi Global saat Rupiah Loyo

Senior Economist Mirae Asset Sekuritas menerangkan, tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar obligasi disebabkan oleh naiknya suku bunga bank sentral AS

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 03 Nov 2022, 20:51 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2022, 20:51 WIB
Ilustrasi Obligasi
Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam tren pelemahan. Pada Kamis, 3 November 2022, rupiah melemah 16 poin atau 0,11 persen ke posisi 15.663 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.647 per dolar AS.

Pergerakan rupiah turut menekan pasar obligasi. Senior Economist Mirae Asset Sekuritas menerangkan, tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar obligasi disebabkan oleh naiknya suku bunga bank sentral AS (Federal Funds Rate/FFR) yang cukup agresif tahun ini, mencapai 300 bps menjadi 3,25 persen hingga September.

Dia mengatakan kenaikan suku bunga acuan tersebut juga terjadi di dalam negeri di mana BI-7DRRR naik 125 bps hingga 4,75 persen untuk menyikapi tingginya laju inflasi. Inflasi September dibukukan 5,95 persen, tertinggi sejak Oktober 2015, setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada awal September.

“Kami memprediksi FFR dapat naik lagi hingga 4,5 persen pada akhir tahun. Di dalam negeri, kami memprediksi inflasi periode 2022 akan mencapai 7,13 persen sehingga BI 7-DRR dapat naik lagi 25 bps pada bulan ini menjadi 5 persen dari posisi sekarang 4,75%,” kata dia dalam Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Kamis (3/11/2022).

Pada kesempatan yang sama, Fixed Income Research Mirae Asset Sekuritas, Dhian Karyantono mengatakan, kondisi saat ini jadi peluang bagi perusahaan yang memiliki obligasi berdenominasi USD karena mendapat gain dari nilai tukar rupiah.

Sebaliknya, untuk perusahaan yang menerbitkan obligasi berdenominasi dolar AS sementara pendapatannya dalam rupiah, dinilai cukup berisiko.

“Kalau perusahaan punya treasury di USD bond malah bagus karena memiliki peluang dari sisi currency. Yang saya khawatirkan ketika perusahana menerbitkan obligasi (berdenominasi) USD yang mulai jatuh tempo pada tahun ini, menurut saya berisiko karena takutnya tidak mampu bayar dari sisi principle dan kuponnya,” ujar Dhian.

 

Penerbitan Obligasi Korporasi Sentuh Rp 131,94 Triliun

FOTO: IHSG Akhir Tahun Ditutup Melemah
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, penerbitan obligasi korporasi menyentuh Rp131,94 triliun dalam sembilan bulan pertama 2022. Penerbitan obligasi korporasi tersebut meningkat dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp77,56 triliun.

Kepala Divisi Pemeringkatan Nonjasa Keuangan I Pefindo Niken Indriarsih menuturkan, hingga akhir kuartal III 2022 jumlah penerbitan surat utang korporasi nasional sentuh Rp 131,94 triliun.

"Kalau penerbitan surat utang sampai kuartal III sudah melampaui penerbitan surat utang 2021. Kalau untuk penerbitan sampai 30 September, Rp 131,94 triliun lebih besar dari tahun lalu,” kata Niken dalam  konferensi pers secara virtual, Selasa (25/10/2022).

Kemudian, jumlah emisi obligasi korporasi per September 2022 dengan rating Pefindo senilai Rp 104,06 triliun. Dengan demikia, untuk obligasi dengan rating lembaga pemeringkat lainnya sebanyak Rp 27,88 triliun.

Sementara itu, sektor multifinance memiliki total emisi terbesar dalam penerbitan obligasi korporasi sepanjang 2022, yakni sebesar Rp22,75 triliun. Kemudian, disusul oleh sektor pulp & paper dengan jumlah total emisi Rp17,99 triliun dan sektor perbankan senilai Rp13,6 triliun. 

Tak hanya itu, untuk sektor pertambangan jumlah total emisi sebesar Rp12,2 triliun serta sektor konstruksi dengan total emisi Rp11,95 triliun. Lalu, untuk sektor pendanaan mencapai Rp 11,51 triliun.

Obligasi Korporasi Lesu

Pembukaan Awal Tahun 2022 IHSG Menguat
Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, pasar obligasi tanah air dinilai masih lesu akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (the Fed).

Meski secara tahun ke tahun (year on year/yoy) sudah mulai tumbuh positif, tetapi Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman mengatakan pertumbuhannya masih bertahap atau gradual.

"Kita tahu bahwa selama tahun ini seperti tahun sebelumnya, di mana imbal hasil surat berharga negara (SBN) bergejolak dinamis karena terjadi capital outflow dari investor asing. Ini berpengaruh pada pasar obligasi korporasi Indonesia,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/8/2022).

Di sisi lain, Helmi melihat situasi ini sebagai kesempatan bagi perbankan untuk menyasar kredit korporasi (corporation loan) lebih banyak. Sebab, saat corporate bond melemah, biasanya kredit korporasi perbankan tumbuh lebih cepat.

Ke depannya, dengan asumsi sudah ada konsensus sejauh mana The Fed akan menaikkan suku bunga, investor asing diperkirakan akan kembali masuk ke pasar obligasi negara bekembang.

"Jadi walaupun di akhir tahun ini atau awal tahun depan Bank Indonesia (BEI) masih menaikkan suku bunga, kalau sudah dibarengi dengan kembalinya investor asing ke obligasi di negara emerging market, mestinya pasar SBN kita tidak terlalu bergejolak,” ujar dia.

 

Pefindo Dapat Mandat Obligasi Rp 39,32 Triliun

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG menguat 0,34 persen atau 21 poin ke level 6.296 pada penutupan perdagangan Senin (13/1) sore ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya,  PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mendapatkan mandat untuk memproses penerbitan surat utang Rp 39,32 triliun hingga kuartal III 2022. 

Mengutip data Pefindo, Selasa (25/10/2022), terkait mandat obligasi korporasi tersebut berasal dari 29 perusahaan dengan berbagai sektor.

Kemudian, untuk industri bubur kertas dan tissue mempunyai rencana emisi paling besar, yaitu Rp8,42 triliun yang terdiri dari 2 perusahaan. Lalu, industri konstruksi yang memiliki rencana emisi Rp6,40 triliun dari 2 perusahaan juga.

Selain itu, ada juga sektor lembaga keuangan khusus memiliki rencana emisi Rp 4,5 triliun dari 2 perusahaan, sektor perusahaan induk dengan rencana emisi Rp3,56 triliun berasal dari 3 perusahaan.

Adapun, sektor pertambangan dengan rencana emisi Rp3,12 triliun dari 3 perusahaan, Lalu, terdapat sektor telekomunikasi yang memiliki rencana emisi Rp 3 triliun dari 2 perusahaan.

Kepala Divisi Pemeringkatan Nonjasa Keuangan I Pefindo Niken Indriarsih menuturkan,sampai akhir kuartal III 2022 jumlah penerbitan surat utang korporasi nasional senilai Rp 131,94 triliun. 

"Kalau penerbitan surat utang sampai kuartal III sudah melampaui penerbitan surat utang 2021. Kalau untuk penerbitan sampai 30 September, Rp 131,94 triliun lebih besar dari tahun lalu,” kata Niken dalam  konferensi pers secara virtual, Selasa (25/10/2022).

Sementara itu, jumlah emisi obligasi korporasi per September 2022 dengan rating Pefindo senilai Rp 104,06 triliun. Sedangkan, untuk lembaga pemeringkat lainnya sebanyak Rp 27,88 triliun.

Sektor multifinance memiliki total emisi terbesar dalam penerbitan obligasi korporasi sepanjang 2022, yakni sebesar Rp22,75 triliun. 

Selanjutnya, ada sektor pulp & paper dengan jumlah total emisi Rp17,99 triliun dan sektor perbankan senilai Rp13,6 triliun.  Tak hanya itu, untuk sektor pertambangan jumlah total emisi sebesar Rp12,2 triliun serta sektor konstruksi dengan total emisi Rp11,95 triliun. Lalu, untuk sektor pendanaan mencapai Rp 11,51 triliun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya